Sudah tepat. Dari sisi fiskal diperoleh pengurangan subsidi yang cukup besar, sementara inflasi bisa dikendalikan,"

Jakarta (ANTARA News) - Pengamat energi Komaidi Notonegoro menilai, kebijakan pemerintah menaikkan harga premium bersubsidi dari Rp6.500 menjadi Rp8.500 per liter merupakan langkah tepat.

"Sudah tepat. Dari sisi fiskal diperoleh pengurangan subsidi yang cukup besar, sementara inflasi bisa dikendalikan," kata Wakil Direktur Eksekutif ReforMiner Institute itu di Jakarta, Senin.

Presiden Joko Widodo yang didampingi Wapres Jusuf Kalla dan sejumlah menteri Kabinet Kerja di Istana Negara Jakarta pada Senin malam mengumumkan kenaikan harga BBM subsidi.

Harga BBM bersubsidi jenis premium dinaikkan dari Rp6.500 menjadi Rp8.500 per liter dan solar dari Rp5.500 menjadi Rp7.500 per liter.

Sementara, minyak tanah ditetapkan tetap Rp2.500 per liter.

Menteri Keuangan Bambang Brojonegoro mengatakan, kenaikan harga tersebut memberikan pengurangan subsidi BBM lebih dari Rp100 triliun per tahun.

Sedangkan, dampak inflasi pada 2014 diperkirakan sekitar dua persen.

Pemerintah akan mengalihkan pengurangan subsidi BBM tersebut untuk membiayai infrastruktur dan memberikan perlindungan kepada 15,6 juta kepala keluarga miskin.

Komaidi mengatakan, kenaikan harga BBM tersebut juga mempersempit harga antara subsidi dan keekonomian, sehingga bisa mengurangi penyelewengan komoditas bersubsidi tersebut.

"Dampak positif lainnya adalah akan mampu menekan sedikit konsumsi," katanya.

Ia mengharapkan, kenaikan harga BBM tersebut dibarengi dengan langkah-langkah konversi baik ke gas maupun nabati.

"Ketergantungan pada minyak sudah harus dikurangi," ujarnya.

Pascakenaikan harga, lanjutnya, perlu pula dipikirkan pemberlakuan subsidi BBM secara tetap agar fiskal lebih terjaga.

Dengan skema subsidi tetap, tambahnya, maka harga BBM bersubsidi berfluktuasi mengikuti perkembangan harga minyak mentah dunia.

Pewarta: Kelik Dewanto
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2014