"Perlu ada konsekuensi, misalnya kalau melanggar, tidak boleh main dulu," kata Vera di Jakarta, Senin.
Ia menjelaskan anak-anak yang lahir pada tahun 90-an umumnya lebih akrab dengan gadget sehingga kesenjangan pengetahuan antara orang tua dan anak kerap membuat orang tua cemas.
Untuk itu, kata dia, orang tua harus benar-benar mempertimbangkan fungsi gadget dengan kebutuhan.
"Kalau gadget untuk memantau anak sudah sampai di mana, beri yang sesuai untuk itu," katanya.
Sebelum gadget sampai ke tangan anak, ia menyarankan perlu ada aturan main yang disepakati bersama, misalnya kapan dan berapa jam anak boleh menggunakan gadgetnya, berapa pulsa yang akan dibelikan dalam sebulan. (Baca : Anies : "jangan tanya anak "kalau besar mau jadi apa?" )
Ia menegaskan aturan tersebut harus sudah disepakati sebelum gadget diberikan kepada anak agar anak mau memperhatikan kesepakatan tersebut.
Orang tua juga harus memberikan contoh dalam penerapan kesepakatan penggunaan gadget tersebut.
Ia mencontohkan, bila telah menyepakati aturan tidak boleh menggunakan gadget saat waktu makan, orang tua juga harus ikut meletakkan gadget miiliknya.
Menurut dia, gadget dan internet memiliki dampak positif dan negatif bagi anak.
Dengan alat tersebut, anak dapat mengasah kemampuannya dalam bidang teknologi, misalnya berkarya dengan foto maupun blog.
Selain itu, melalui permainan elektronik, anak juga dapat belajar bahasa asing, belajar memecahkan masalah dan meningkatkan kemampuan visual sehingga memacu anak untuk lebih teliti. (Baca : Kunci pendidikan : orang tua, guru, kepala sekolah )
Tetapi, bila anak terus-menerus bermain gadget, alat tersebut hanya mengasah otak kiri sehingga anak akan cenderung apatis saat berinteraksi.
Penggunaan gadget dan internet berlebihan juga dapat memicu stres dan kekerasan di dunia maya.
Pewarta: Natisha Andarningtyas
Editor: Desy Saputra
Copyright © ANTARA 2014