Jakarta (ANTARA News) - Sekitar 1,5 persen atau tiga juta penduduk Indonesia saat ini mengalami kebutaan atau lebih tinggi dari Bangladesh (satu persen), India (0,7 persen) dan Thailand (0,3 Persen). Hal ini didasarkan atas Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1993-1996, kata Direktur Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat Departeman Kesehatan, Sri Astuti Suparmanto, pada acara dialog interaktif memperingati Hari Penglihatan Sedunia di Jakarta, Rabu "Ganguan kebutaan tersebut diakibatkan oleh katarak 0,78 persen, galukoma 0,20 persen, refraksi 0,14 persen, dan kelainan kornea 0,10 persen dan sebagaian besar dari masyarakat miskin," kata Astuti. Akibat kebutaan, kata Astuti, menurunkan produktifitas dan kualitas sumber daya manusia di Indonesia. "Kelainan refraksi (Berkurangnya ketajaman penglihatan pada mata) yang diidap oleh anak-anak akan menggangu mereka untuk mengikuti pelajaran di sekolah," katanya. Bagi orang dewasa gangguan tersebut dapat mengakibatkan turunnya produktifitas kerja sehingga mengurangi kesejahteraan mereka. Menurut Astuti, ganguan refraksi termasuk mudah diatasi dengan penggunaan kaca mata koreksi refraksi namun karena kebanyakan kebutaan diidap oleh masyarakat miskin maka upaya tersebut susah untuk dilakukan. "Kemiskinan membuat mereka sulit untuk membeli kaca mata tersebut," katanya. Untuk menanggulangi empat macam ganguan kebutaan tersebut saat ini Depkes telah mengembangkan strategi yang dituangkan dalam Kepmenkes no 1473 tahun 2005 tentang Rencana Strategi Nasional Gangguan Penglihatan dan Kebutaan. Sementara itu Astuti menyarankan untuk melakukan pencegahan sejak dini terhadap ganguan kebutaan tersebut dengan mengkonsumsi makanan bervitamin A, menjaga jarak menonton TV dan menjaga jarak membaca buku, serta mengontrol tekanan bola mata secara teratur di atas 40 tahun.(*)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2006