Jakarta (ANTARA News) - Di dalam tatanan masyarakat adat Buton, ada falsafah dari bahasa tutur "pembici-binciki kuli, poangka-angkataka, pemaa-maasiakan" yang artinya jangan saling menyakiti, tetapi harus saling hormat dan menyayangi.
Di tananan masyarakat adat Jawa, dikenal istilah "tenggang rasa tepa saliro" yang artinya kurang lebih sama dengan bahasa tutur masyarakat adat Buton, yakni saling menghargai dan menjaga perasaan antarsesama.
Jika nilai-nilai kearifan budaya lokal masyarakat tersebut diadopsi dalam perilaku kehidupan sehari-hari, maka niscaya mayarakat bangsa ini akan menjadi masyarakat yang berbudaya dan bermartabat.
"Bahasa tutur yang menjadi akar budaya masyarakat lokal mengandung pesan moral yang sangat tinggi sehingga mampu menciptakan harmonisasi kehidupan di tengah masyarakat adat penutur bahasa tutur," tutur Sultan Buton ke-40, La Ode Mohammad Izat Manar saat berbicara pada Seminar Budaya Nasional di Wakatobi, Selasa (11/11).
Menurut dia, kekisruhan atau kerusuhan di berbagai daerah yang terjadi akhir-akhir ini, karena masyarakat sudah melupakan bahasa tutur bernilai moral tinggi yang menjadi akar budaya leluhurnya.
Nilai-nilai moral dari bahasa tutur tersebut tidak hanya diaplikasikan dalam kkehidupan di tengah masyarakat adat, melainkan juga diterapkan dalam mengendalikan pemerintahan oleh para penguasa wilayah seperti kerajaan atau Kesultanan.
Izat memberi contoh para Sultan yang berkuasa di Kesultanan Buton masa lampau, benar-benar menjalankan kekuasaan demi kepentingan rakyat dan daerah.
Ketika ada Sultan yang merasa sudah mengabaikan kepentingan rakyat dan daerah dalam menjalankan kekuasaannya, yang bersangkutan dengan jiwa besar mengundurkan diri dari jabatannya.
Namun kini, katanya, para penguasa atau penyelenggara negara tanpa rasa malu berlomba memperjuangkan kepentingan diri dan kelompoknya. Bahkan pejabat yang diminta mundur pun tanpa rasa malu menggunakan segala cara demi mempertahankan kekuasaanya.
"Saya pikir, para pejabat yang demikian itu yang mesti direvolusi mentalnya. Paradigma berpikir mereka harus kembali mengadopsi nilai-nilai bahasa tutur yang menjadi akar budaya masyarakat adat masa lampau," katanya.
Pandangan yang sama juga disampaikan pakar bahasa dari Universitas Indonesia, Dr Pudentia, MPSS, H. Hum.
Menurut dia, timbulnya berbagai penyimpangan atau pelanggaran aturan di tengah masyarakat maupun pemerintahan, karena generasi penerus bangsa mulai melupakan atau meninggalkan akar budaya dari leluhurnya.
"Sebagian besar dari komunitas masyarakat hanya memahami budaya sebagai seni kreasi, tarian atau tradisi budaya yang ditampilkan di atas panggung," katanya.
Padahal, ujarnya, masyarakat adat yang memahami akar budaya masyarakat leluhur, sangat menaati aturan dan menghargai alam sekitar termasuk sesamanya.
Kearifan lokal
Kearifan budaya lokal setiap etnis masyarakat dunia lahir dari bahasa tutur atau bahasa lisan di setiap komunitas masyarakat adat.
Di sana (bahasa tutur atau bahasa lisan-red), terdapat ungkapan- ungkapan halus atau bahasa kiasan bagaimana manusia berperilaku dan berinteraski dengan alam sekitarnya.
"Melalui bahasa tutur, mayarakat adat sangat piawai dalam mengelola dan memanfaatkan alam sebagai sebagai sumber kehidupannya," kata Pudentia.
Ia memberi contoh bahasa tutur Tanah Toraja yang dipakai salah satu komunitas masyarakat di Sulawesi Selatan itu.
Kata tanah sendiri menurut bahasa tutur masyarakat setempat, ujarnya, berarti kawasan atau wilayah, sedangkan Toraja mengandung makna pemilik kekuasaan yang memberi kehidupan manusia di muka bumi.
"Dengan pemahaman bahasa tutur seperti itu, maka masyarakat adat setempat tidak sembarangan menebang atau mengambil sesuatu dari kawasan hutan," katanya.
Kalau ada yang diambil dari kawasan hutan ujarnya, maka harus ada pula sesuatu yang dikembalikan ke dalam kawasan hutan.
"Kearifan budaya lokal yang berakar dari bahasa tutur inilah yang mesti digali dan dikembangkan di masa kini," katanya.
Dengan begitu katanya, bahasa tutur yang sarat dengan nilai-nilai kearifan lokal itu tetap lestasi dan dipertahankan keberadaanya.
"Jadi, bahasa tutur yang sarat nilai-nilai kearifan mesti digali dan dikembangkan untuk dijadikan kekuatan membangun peradaban masyarakat bangsa ini melalui program revolusi mental," katanya.
Pandangan serupa juga disampaikan budayawan dari Universitas Dayanu Ikhsanuddin, La Ode Munafi, Spd MSi.
Menurut dia, Presiden Soekarno dalam merumuskan sila-sila dalam Pencasila yang menjadi dasar negara, mengadopsi nilai-nilai budaya masyarakat di berbagai daerah di Indonesia.
"Kalau pemerintah ingin merevoluisi mental masyarakat bangsa ini, mesti membuat regulasi yang mengharuskan aparatur negara dan masyarakat kembali menganut nilai-nilai dalam setiap sila dari Pancasila yang adiluhung itu," katanya.
Nilai-nilai setiap sila dari Pancasila yang disari dari nilai budaya masyarakat Indonesia, tidak membenarkan penyelenggara negara mementingkan kepentingan pribadi dan golongan.
Menurut dia, jika nilai-nilai Pancasila diterapkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak perlu ada di negara ini.
Sebab ketika semua orang sudah memahami nilai-nilai Pancasila dan nilai-nilai budaya masyarakat adat secara utuh, penyelenggara negara dipastikan tidak ada lagi yang korupsi.
"Saya pikir, pemerintahan Jokowi - JK harus merevolusi mental rakyat ini dengan nilai-nilai budaya masyarakat adat yang takut melanggar atau melakukan hal-hal yang menyimpang dari aturan adat," katanya.
Di ambang kepunahan
Bahasa tutur peninggalan leluhur masyarakat adat di berbagai pelosok agaknya saat ini sudah berada di ambang kepunahan.
Menurut pakar bahasa dari UI, Pudentia, saat ini setiap dua minggu, ada satu bahasa tutur di seluruh dunia yang hilang karena penuturnya telah meninggal.
"Hilangnya bahasa tutur setelah penuturnya meninggal, sebagai akibat dari generasi penerus yang mulai melupakan atau meninggalkan akar budaya dari leluhurnya," katanya.
Kondisi tersebut diperarah dengan kawin-mawin antaretnis di berbagai wilayah nusantara.
Sebagian besar anak-anak bangsa yang lahir dari perkawinan antaretnis tersebut tidak paham lagi dengan bahasa tutur atau bahasa orangtuanya.
Sebagai contoh, lelaki asal Wakatobi atau Buton yang menikahi perempuan Jawa atau Bugis Makassar, keturunanya hampir tidak paham bahasa ayahnya, bahasa Wakkatobi dan tidak mengerti pula bahasa ibunya, bahasa Jawa.
Anak-anak dari hasil perkawinan antaretnis tersebut hanya paham bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, sehingga keragaman bahasa makin lama semakin berkurang.
Padahal, menurut Pudentia, keragaman bahasa tutur di Idonesia sesungguhnya memperkaya kosa kata dari bahasa Indonesia yang dijadikan sebagai bahasa persatuan atau perekat dari bangsa besar ini.
Ia memberi contoh kata nyeri yang berarti sakit, sesungguhnya bukan bahasa Indonesia asli melainkan diadopsi dari bahasa Sunda.
"Jadi, bahasa-bahasa halus dari bahasa tutur itu yang mesti digali dan dikembangkan untuk menjadi kekuatan dalam membangun peradaban masyarakat bangsa ini," katanya.
Dengan begitu ujarnya, bahasa tutur di setiap daerah di Indonesia yang sarat dengan pesan-pesan moral, bisa tetap lestari sepanjang masa.
Oleh Agus
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2014