Jakarta (ANTARA News) - "Mamaku itu cewek hebat, namanya Cangik. Semua manusia diurusi... Penduduk negeri ini mencintainya," kata Limbuk memuji ibunya.
Siapa Cangik ? Panakawan perempuan berbadan kurus dan berleher panjang itu hanya dayang kelas rendah di Kerajaan Mandura, tetapi akrab dengan keluarga raja.
Sangking akrabnya, saat Maharaja Surasena, pemimpin Negeri Suranesia meninggal, Cangik beralih fungsi menjadi juri yang bertugas memilih satu dari enam calon pengganti Maharaja, yakni Santunu Garu, Dundung Bikung, Burama-rama, Graito Bakari, Binanti Yugama dan Jaka Wisesa, melalui sayembara.
Tak hanya itu, Cangik juga dibekali ajian sakti dari Maharaja Surasena. Dengan ajian ini, dia berhasil mengundang tokoh-tokoh besar dari berbagai penjuru dunia wayang untuk ikut bersamanya menjadi juri.
Reputasi mereka tidak main-main, mulai dari perwakilan dewa seperti Batara Narada dan Semar, perwakilan bangsawan seperti Gatotkaca dan Lesmono Mondrokumoro, Raja Kediri yang diwakili Putri Riri Ratri hingga ratu para setan, Permoni.
Sayembara pun digelar. Satu per satu calon Maharaja memaparkan rencana pemerintahannya di hadapan para juri. Ada yang yang ingin menjaga kedaulatan negara melalui cara militer, lalu adapula yang ingin menjadikan pulau lumpur ciptaanya sebagai kebanggaan negara.
Di tengah rasa bimbang menentukan pilihan, munculah calon Maharaja yang mengaku "cuma rakyat biasa". Awalnya, baik Cangik maupun putrinya, Limbuk, tak yakin dengan sosok ini. Bahkan Putri Riri Ratri menyayangkan status sosok ini yang bukan dari kalangan bangsawan. Kendati baik Riri maupun Cangik dan juri lainnya tahu kalau sosok ini pernah menjadi walikota dan gubernur kota besar.
"Apakah Jaka Wisesa bisa jadi raja? Aku belum tahu juga. Aku harus minta nasehat dari banyak orang," kata Cangik pada Limbuk.
Sementara Cangik ragu dengan kemampuan Jaka Wisesa, Limbuk justru ragu karena perawakan Jaka yang dirasanya kurang pas.
"Wajahnya kurang oke, langkahnya engak kayak ksatria banget, klemar-klemer," komentar Limbuk tentang sosok Jaka Wisesa.
Mungkin itulah garis besar lakon terbaru dari Teater Koma yang berjudul "Republik Cangik" yang dipentaskan mulai Kamis (13/11) malam hingga 22 November mendatang.
Pementasan ke empat yang mengambil judul "Republik" dan menggunakan nama tokoh panakawan ini memang terasa menyentil situasi politik di Indonesia pada masa pemilihan presiden tahun ini. Sentilan paling kentara terletak pada tokoh-tokoh yang maju menjadi calon Maharaja.
Penonton seakan diajak mengingat kembali siapa saja tokoh-tokoh yang pernah punya niatan memegang kendali negara pada Pilpres tahun ini. Tak sedikit yang kemudian tertawa dan bertepuk tangan saat para pemain berhasil menirukkan perkataan, aksen atau gaya para tokoh itu.
Tak hanya itu, penonton pun diajak menyelami sosok Cangik yang mewakili golongan perempuan namun punya andil membantu mengurusi nasib negara.
Sekalipun memang menyentuh ranah politik namun berbagai lelucon dan tingkah konyol para pemain banyak menghibur. Belum lagi selingan lagu dan musik yang menyegarkan dan mengandung pesan-pesan tertentu.
Penulis naskah dan sutradara pementasan ini, Nano Riantiarno beberapa waktu lalu mengungkapkan, produksi ke-136 Teater Koma ini mengajak penonton berpikir apa jadinya kalau tugas memilih pemimpin negara diemban seorang panakawan. Apakah sesudah musibah, adakah berkah?.
Hal ini menurut Nano menjadi pertanyaan bagi semua orang dan cerminan bagi kita untuk melihat diri secara jujur.
Pewarta: Lia Wanadriani Santosa
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2014