Belum ada political will yang kuat untuk menyediakan air minum bersih dan fasilitas sanitasi yang layak untuk masyarakat.
Jakarta (ANTARA News) - Akses air bersih dan sanitasi di Indonesia masih rendah sehingga masih membutuhkan investasi supaya semua masyarakat dapat mengaksesnya pada 2019.
Anggota Komisi Ilmu Kedokteran Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia Dr Tjahjono Gondhowiardjo, di Jakarta, Senin, mengatakan baru 67,7 persen warga yang bisa mengkonsumsi air minum bersih. Apabila kondisi tersebut ingin dituntaskan pada 2019 maka dibutuhkan investasi Rp275 triliun pada 2015 hingga 2019.
Sementara itu, butuh investasi Rp273,7 triliun pada 2015--2019 untuk memenuhi akses sanitasi yang saat ini baru dirasakan sekitar 120 juta jiwa atau 40,3 persen warga Indonesia.
Berdasarkan data Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 2013, akses air bersih dan sanitasi yang layak di Indonesia hanya bisa dinikmati oleh 55 persen penduduk. Indonesia berada di posisi ke-8 dibandingkan dengan negara ASEAN ditambah Tiongkok dan India, juga di bawah Laos yang bisa menyediakan fasilitas sanitasi untuk 62 persen warganya.
"Belum ada political will yang kuat untuk menyediakan air minum bersih dan fasilitas sanitasi yang layak untuk masyarakat," ujar dia.
Ia mengatakan dukungan politik akan menentukan besaran dana yang bisa diinvestasikan untuk menyediakan air minum bersih dan sanitasi yang menjadi kunci meningkatkan kesehatan masyarakat.
(Baca juga: Peneliti bahas solusi krisis air di Yogyakarta).
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), menginvestasikan dana senilai US$ 1 untuk menyediakan air minum bersih dan fasilitas sanitasi justru bisa menekan biaya kesehatan hingga US$ 4.
Ia berpendapat penyediaan fasilitas dasar ini merupakan salah satu pekerjaan rumah pemerintahan baru karena akses terhadap air minum bersih sudah dicanangkan sebagai hak asasi manusia dalam Resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 2010.
(Baca juga: LIPI-UNESCO kaji ekohidrologi atasi krisis air global).
Rendahnya akses terhadap air minum bersih dan fasilitas sanitasi akan mempengaruhi tingkat kesehatan dan perkembangan intelektual.
Sementara itu Ketua Komisi Kedokteran AIPI Prof. Dr Sjamsuhidajat mengatakan banyak siswi SD, SMP, dan SMA, yang mengalami dehidrasi kronis akibat kondisi kamar mandi yang kotor. "Mereka memilih tidak minum daripada harus ke kamar mandi," ujarnya.
"Padahal dehidrasi tidak hanya menyebabkan stunting (melambatnya pertumbuhan, kekerdilan) tapi juga berpengaruh pada perkembangan intelektual," pungkas dia.
(SDP-85)
Pewarta: Nanien Yuniar
Editor: Ella Syafputri
Copyright © ANTARA 2014