Yogyakarta (ANTARA News) - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono hendaknya tidak mudah didikte oleh Presiden Amerika Serikat (AS) George Walker Bush dalam pertemuan bilateral di Istana Bogor, Jawa Barat, 20 November 2006. "Meskipun dalam pertemuan itu rencananya Bush menawarkan investasi dan bantuan untuk Indonesia, namun penawaran itu jangan sampai membuat Presiden Yudhoyono hanya `manut` dengan semua permintaan Presiden AS tersebut," kata pengamat sosial politik dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Dra Mutiah MHum di Yogyakarta, Selasa. Menurut dia, dalam pertemuan tersebut Presiden Yudhoyono harus berani menolak permintaan Bush yang dinilai mempunyai dampak kurang menguntungkan bagi kepentingan bangsa dan negara terutama menyangkut kedaulatan RI sebagai negara yang merdeka. "Biasanya, pihak yang menawarkan sesuatu akan diikuti pamrih dengan permintaan di belakangnya. Tidak menutup kemungkinan hal itu akan dilakukan Bush, baik secara halus maupun dengan "tekanan"," katanya. Oleh karena itu, Presiden Yudhoyono harus mewaspadai setiap permintaan dan keinginan Bush terkait dengan penawaran investasi dan bantuan tersebut. Presiden Yudhoyono harus mempertimbangkan hal itu secara cermat dan cerdas, sehingga tidak terjebak dalam "permainan" AS. "Sebagai pemimpin di negara berdaulat, Presiden Yudhoyono harus memiliki rasa percaya diri yang tinggi menghadapi Bush, sehingga tidak hanya `mengiyakan` setiap perkataan dan permintaan Presiden AS. Jika permintaan Bush dinilai mencampuri kedaulatan negara, Presiden Yudhoyono harus berani mengatakan tidak," katanya. Saat ditanya biaya untuk menyambut kedatangan dan menjamu Bush di Indonesia yang mencapai miliaran rupiah, ia mengatakan seharusnya prosedur itu disamakan dengan kepala negara lain yang datang ke Indonesia, sehingga biayanya dapat ditekan seminimal mungkin. Sebenarnya untuk menyambut dan menjamu Bush tidak perlu menghabiskan uang Rp7 miliar, cukup disamakan dengan kepala negara lain yang pernah datang ke Indonesia, yang tentunya nilainya jauh di bawah angka itu. "Namun mungkin Bush merasa sebagai pemimpin negara adikuasa sehingga ingin diperlakukan lebih," katanya.(*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2006