Sal menerima penghargaan tersebut pada malam pembukaan IDF 2014, Selasa, di Teater Besar Taman Ismail Marzuki, Jakarta, karena dianggap sebagai kritikus tari yang paling konsisten menulis dan melakukan penelitian sekaligus menjadi pendidik dengan pengalaman yang sangat luas.
"Penghargaan ini menarik buat saya karena seniman kan sering tidak dihargai, apalagi tari masih dianggap sebagai sesuatu yang tidak penting oleh masyarakat Indonesia," ujar Sal di Jakarta, Selasa (4/11) malam.
Bagi pria kelahiran Surakarta, 27 Desember 1945 ini seni adalah tanggapan seseorang terhadap apa yang ada di sekelilingnya, baik itu pada sesama manusia, alam, hewan, tumbuhan, ataupun pada Sang Pencipta.
"Esensi dari berkesenian adalah belajar menjadi orang baik," kata pria yang meraih gelar doktor bidang kajian seni pertunjukan dari New York University ini.
Inisiator IDF sekaligus salah seorang perintis berdirinya Fakultas Seni Pertunjukan Institut Kesenian Jakarta ini banyak menyoroti tari tak hanya dari sisi keterampilan, namum selalu mengaitkannya dengan pengetahuan dan wacana.
Beberapa buku yang pernah ditulisnya antara lain Ketika Cahaya Merah Memudar (1993), Teater Daerah Indonesia (1996), Kritik Tari (2002), serta Tradisi dan Inovasi (2004). Selain itu dia juga telah memberikan banyak pelatihan kritik tari dan mempresentasikan makalah di berbagai seminar di Indonesia maupun mancanegara.
Kini Sal tetap tekun mengamati dan mengikuti perkembangan seni tari di Indonesia maupun dunia dengan aktif terlibat dalam berbagai diskusi seni.
"Apa yang saya harapkan dalam dunia tari di masa depan Indonesia adalah semua orang mulai dari anak-anak hingga orang dewasa bisa menari untuk menuangkan pikiran, perasaan, dan imajinasi dalam bentuk yang tidak naratif melainkan dengan medium gerak," tuturnya.
Pewarta: Yashinta Difa
Editor: Desy Saputra
Copyright © ANTARA 2014