Orang pintar banyak, uang banyak, saat saya masuk ke DKI uangnya Rp41 triliun, tahun ini hampir Rp80 triliun, saya sangat yakin akar persoalan adalah korupsi, tidak ada yang lain."
Jakarta (ANTARA News) - Banjir yang hampir setiap tahun melanda Jakarta, hingga kini bagaikan momok menakutkan bagi sebagian besar warga ibu kota itu.
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DKI Jakarta mencatat 125 kelurahan di 37 kecamatan yang tersebar di Jakarta Barat, Jakarta Pusat, Jakarta Selatan, Jakarta Timur dan Jakarta Utara rawan banjir.
Kepala BPBD DKI Jakarta Bambang Musyawardana di Jakarta, Jumat mengatakan ke-125 kelurahan tersebut tersebar pada delapan kecamatan di Jakarta Barat, tiga kecamatan di Jakarta Pusat, 10 kecamatan di Jakarta Selatan, 10 kecamatan di Jakarta Timur dan enam kecamatan di Jakarta Utara.
"Jika dibagi per kelurahan maka di Jakarta Barat 35 kelurahan, Jakarta Pusat 10 kelurahan, Jakarta Selatan 20 kelurahan, Jakarta Timur 35 kelurahan dan Jakarta Utara 25 kelurahan," katanya.
Pemprov DKI pun melakukan berbagai upaya untuk mengurangi dampak bahkan menyelesaikan permasalahan banjir yang setiap tahun selalu melanda kota berjuluk metropolitan ini.
Dimulai dari pembangunan Banjir Kanal Timur (BKT) di sepanjang wilayah timur Jakarta, membangun atau meninggikan turap, pembuatan sumur resapan, pemasangan alat pendeteksi banjir, rencana pembangunan lima rumah pompa baru dan tanggul laut raksasa, sampai normalisasi 13 sungai di Jakarta yang sampai saat ini masih berjalan.
"Dari tahun sebelumnya, tahun ini kita lebih siap, para camat dan lurah sudah diperintahkan untuk mengeruk selokan yang ada di wilayah masing-masing," kata Pelaksana Tugas Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok di Jakarta, Selasa (28/10).
Menurut dia, untuk sungai-sungai besar telah dilakukan pengerukan oleh Dinas Pekerjaan Umum serta dilakukan pemasangan turap.
Selain persiapan infrastruktur, Pemprov DKI juga menyiapkan logistik dan peralatan teknis dalam menghadapi bencana tahunan yang harus dihadapi warga ibu kota seperti perahu karet, pengerahan personel taruna siaga bencana dan ratusan ton beras yang akan dioperasikan ketika banjir menggenangi Jakarta.
Banjir yang seakan jadi rutinitas di Jakarta telah menarik perhatian mengenai masalah ini baik dari pemerintah daerah maupun pemerhati masalah tata kota untuk angkat bicara karena hal ini terus terjadi seperti tidak ada habisnya.
Akar Masalah
Letak geografis Jakarta yang berada di tepi laut dan dialiri 13 sungai yang kerap kali meluap ketika musim penghujan tiba membuat ibu kota Indonesia ini seolah terkepung oleh air dari dua sisi.
Selain itu, bentang alam ibu kota yang berubah dari waktu ke waktu jadi masalah tersendiri seiring dengan pertambahan populasi di kota metro politan ini yang mendesak keberadaan ruang terbuka hijau untuk resapan air.
"Bentang alam yang berubah di kawasan hulu sampai hilir menjadi salah satu penyebab banjir yang tidak pernah selesai di Jakarta," kata pakar tata kota Universitas Tri Sakti Yayat Supriyatna, Minggu.
Yayat menjelaskan karena bentang alam yang berubah dari hulu hingga hilir terlihat dari semakin sempitnya lebar sungai dan pendangkalan sungai karena terlalu banyak aktivitas manusia di sepanjang aliran sungai.
Perubahan bentang alam tersebut mengakibatkan surface runoff yang berlebih karena sungai sudah tidak mampu menampung air yang datang sangat banyak sehingga terjadi luapan di sekitar Daerah Aliran Sungai (DAS).
Surface runoff adalah air hujan yang meninggalkan Daerah Aliran Sungai (DAS) pada hulu setelah terjadinya hujan atau badai namun tidak diserap tanah tetapi mengalir di atas sungai.
"Sungai di kawasan hilir idealnya memiliki lebar 70 meter dan kedalaman lima sampai enam meter. Karena lebar dan kedalaman sungainya itu berkurang menyebabkan daya tampungnya juga jadi sedikit dan meluap ke permukiman," katanya.
Yayat juga mengatakan selain surface runoff yang berada di kawasan hilir, catchment area (daerah resapan air) yang erat kaitannya dengan DAS di bagian hulu juga sangat mempengaruhi banjir Jakarta.
"Gunung-gunung yang merupakan kawasan hulu sungai seharusnya jadi hutan. Namun sekarang lebih banyak beralih fungsi jadi perkebunan atau komplek pemukiman," ujarnya.
Selain di kawasan DAS sepanjang hulu sampai hilir kawasan pesisir Jakarta juga rawan terhadap banjir akibat pasangnya air laut (rob) yang mengganggu kualitas pengelolaan sumber daya air dan pesisir.
Sementara itu, Pelaksana Tugas Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok menyebut akar persoalan banjir di Ibu Kota adalah korupsi karena semua fasilitas dan sarana yang ada tersedia tapi tidak maksimal digunakan.
"Orang pintar banyak, uang banyak, saat saya masuk ke DKI uangnya Rp41 triliun, tahun ini hampir Rp80 triliun, saya sangat yakin akar persoalan adalah korupsi, tidak ada yang lain," kata Basuki di Jakarta, Kamis (30/10).
Ia melihat terlalu banyak permainan dalam mengatasi banjir di mana dinas terkait lebih berorientasi mendapatkan komisi proyek.
Solusi Penanganan
Dalam menghadapi banjir tahunan yang kerap kali melumpuhkan sendi perekonomian Jakarta beberapa pihak memiliki solusi untuk menyelesaikan permasalahan ini.
Pemprov DKI berencana untuk membangun lima fasilitas rumah pompa baru yang akan dibangun bisa mengurangi sedikitnya 46 titik genangan banjir di Jakarta khususnya bagian utara yang akan didirikan di kawasan hilir, meliputi Kamal Muara, Muara Angke, Sentiong Muara, Haylay-Marina di Ancol dan Muara Karang.
Selain itu di sepanjang pantai utara Jakarta akan dibangun tanggul laut raksasa dengan total panjang 32 kilometer, sebagai infrastruktur yang mampu melindungi Jakarta dari ancaman banjir rob, sekaligus meningkatkan kualitas pengelolaan sumber daya air dan pesisir.
Tanggul laut raksasa itu merupakan bagian besar dari Pengembangan Terpadu Pesisir Ibukota Negara (Capital Integrated Coastal Development/NCICD) dan pada tahap pertama pembangunan tanggul tersebut adalah sepanjang delapan kilometer dan dibiayai 50 persen dari anggaran pemerintah pusat dan 50 persen lainnya dana pemerintah DKI Jakarta.
Selanjutnya Pelaksana Tugas Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok mengungkapkan hal pertama yang harus dilakukan adalah pemberantasan praktik korupsi dan tidak melibatkan pihak swasta dalam proyek-proyeknya.
"Padahal penanganan banjir di DKI Jakarta menjadi tugas rutin, tapi mengapa harus diserahkan kepada swasta, saya perintahkan semua peralatan pendukung dibeli," kata dia.
Ia mengatakan dengan uang yang ada sebenarnya DKI Jakarta bisa melakukan apa saja untuk mengatasi banjir di ibu kota.
Ahok juga berpendapat dalam menyelesaikan persoalan banjir di Ibu Kota harus melibatkan daerah sekitarnya, seperti Tangerang, Bekasi, Depok, dan Bogor.
Dalam hal pembiayaan Ahok bersedia menaikan anggaran bantuan bagi daerah penyangga ibu kota menjadi Rp100 miliar dari sebelumnya Rp5 miliar. Ia mengaku kalau pemberian bantuan tersebut telah dilakukan sebelum pemerintahan Jokowi dan dirinya. Jika bantuan dari pemerintah hanya sebesar Rp5 miliar per tahun tidak akan cukup.
"Oleh karena itu kami siapkan Rp100 miliar mulai tahun depan," tambahnya.
Hal senada diungkapkan oleh Pengamat Perkotaan Yayat Supriyatna yang mengatakan harus ada koordinasi antar pemangku kebijakan di wilayah hulu (daerah penyangga) dan hilir (ibu kota).
"Harus ada koordinasi dalam pengelolaan dan pengembalian antar pemerintah daerah tentang bentang alam di kawasan DAS sepanjang hulu sampai hilir lewat normalisasi sungai-sungai yang mengalir di Jakarta," kata Yayat.
Dia berpendapat normalisasi sungai yang diikuti dengan memindahkan (relokasi) warga di bantaran oleh Pemprov DKI adalah langkah tepat untuk mengajarkan masyarakat agar taat aturan.
"Butuh pendekatan aturan sehingga mengajar warga patuh terhadap aturan. Di Jakarta memang butuh hidup tapi harus mengikuti aturan. Dari sini nantinya akan muncul keteraturan bahwa ada kawasan tertentu seperti bantaran sungai yang memang tidak diperuntukkan sebagai kawasan permukiman," katanya.
Yayat menambahkan apapun kebijakan yang dilakukan pemerintah untuk menangani masalah banjir Jakarta harus ada penyelarasan dengan pendidikan budaya hidup bersih dan teratur pada masyarakat.
"Struktur pengendali sungai seperti kanal, bendungan ataupun sodetan harus didukung dengan langkah mengubah budaya masyarakat agar hidup bersih dan teratur, supaya pekerjaan yang dilakukan tidak sia-sia," katanya. (*)
Oleh Ricky Prayoga
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2014