Jakarta (ANTARA News) - Kebiasaan menggunakan obat antimikroba tidak sesuai dengan indikasi medis, tanpa resep dokter, membuat kuman kebal sehingga pengobatan jadi lebih sulit dilakukan.
Resistensi antimikroba sudah menjadi masalah serius di dunia. Indonesia juga tidak luput dari masalah itu.
Hasil penelitian Antimicrobial Resistance in Indonesia : Prevalence and Prevention (AMRIN Study) yang dilakukan di beberapa rumah sakit di Surabaya tahun 2000-2005 menunjukkan bahwa masalah resistensi antimikroba juga merupakan masalah kesehatan penting di Indonesia.
Pemerintah Indonesia telah menyepakati upaya koordinasi di tingkat regional dan global untuk mengendalikan resistensi antimikroba.
Pemerintah juga membentuk Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba yang bertugas memberikan rekomendasi kepada Menteri Kesehatan dalam penyusunan kebijakan Program Pengendalian Resistensi Antimikroba dan meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya pencegahan dan penanggulangan resistensi antimikroba.
Sebanyak 22 anggota Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba Periode 2014-2019 dilantik pada 16 Oktober 2014.
Selain itu Kementerian Kesehatan berusaha mencegah penggunaan obat antimikroba secara tidak rasional lewat Gerakan Penggunaan Antimikroba Bijak.
Upaya pengendalian resistensi antimikroba lainnya dilakukan lewat penerbitan buku panduan pengendalian resistensi antimikroba yang diserahkan ke rumah sakit-rumah sakit.
Bersamaan dengan pencanangan Gerakan Penggunaan Antimikroba Bijak pada 16 Oktober 2014, Kementerian Kesehatan menyerahkan buku pedoman itu kepada Rumah Sakit Umum Daerah dr. Soetomo Surabaya sebagai perwakilan rumah sakit kelas A; Rumah Sakit Penyakit Infeksi Prof. Dr. Sulianti Saroso Jakarta sebagai perwakilan rumah sakit kelas B; Rumah Sakit Umum Annisa Tangerang sebagai perwakilan rumah sakit kelas C; dan Rumah Sakit Bhayangkara Sespimma Polri Jakarta sebagai perwakilan rumah sakit kelas D.
BPRS siap
Lima anggota Badan Pengawas Rumah Sakit (BPRS) Periode 2014-2017 sudah dilantik 16 Oktober dan siap menjalankan tugas untuk memastikan rumah sakit menjalankan kewajiban mereka dalam memenuhi hak-hak pasien.
BPRS dibentuk sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit.
Mengacu pada undang-undang itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 8 Juli 2013 menandatangani Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2013 tentang Badan Pengawas Rumah Sakit.
Unit nonstruktural pada Kementerian Kesehatan itu menjalankan tugas pembinaan dan pengawasan rumah sakit secara independen dan bertanggung jawab kepada Menteri Kesehatan.
Lima anggota BPRS yang berasal dari unsur Kementerian Kesehatan, Asosiasi Perumahsakitan, organisasi profesi bidang kesehatan dan tokoh masyarakat itu antara lain bertugas membuat pedoman tentang pengawasan Rumah Sakit untuk BPRS Provinsi.
BPRS juga bertugas membangun sistem sistem informasi--termasuk pelaporan-- jejaring BPRS dan BPRS Provinsi serta melakukan analisis hasil pengawasan dan memberikan rekomendasi kepada pemerintah pusat dan pemeritah daerah soal pembinaan rumah sakit.
Sementara wewenang BPRS antara lain menyusun tata cara penanganan pengaduan dan mediasi oleh BPRS Provinsi serta menyusun pedoman, sistem pelaporan, dan sistem informasi jejaring dari BPRS dan BPRS Provinsi.
BPRS juga berwenang meminta laporan hasil pembinaan dan pengawasan dari BPRS Provinsi, memberikan rekomendasi kepada Menteri Kesehatan dan Gubernur mengenai pola pembinaan dan pengawasan rumah sakit berdasarkan analisis hasil pembinaan dan pengawasan, serta memberikan rekomendasi kepada menteri dan pemerintah daerah untuk mengambil tindakan administratif terhadap rumah sakit yang melakukan pelanggaran.
Peraturan Pemerintah No. 49 tahun 2013 tentang BPRS juga mengamanatkan bahwa gubernur bisa membentuk BPRS Provinsi.
BPRS Provinsi antara lain bertugas mengawasi dan menjaga hak dan kewajiban pasien serta mengawasi dan menjaga hak dan kewajiban rumah sakit di wilayahnya.
Selain itu tugasnya mengawasi penerapan etika rumah sakit, etika profesi, dan peraturan perundang-undangan, menganalisis hasil pengawasan dan memberikan rekomendasi kepada pemerintah daerah soal pembinaan, dan menerima pengaduan dan melakukan upaya penyelesaian sengketa dengan cara mediasi.
Dalam menjalankan tugasnya BPRS Provinsi berwenang melakukan inspeksi penegakan hak dan kewajiban pasien dan rumah sakit di wilayahnya, menindaklanjuti pengaduan untuk menyelesaikan sengketa lewat mediasi dan memberikan rekomendasi kepada pemerintah daerah untuk mengambil tindakan administratif terhadap rumah sakit yang melakukan pelanggaran.
(Informasi ini disiarkan dengan dukungan dari Kementerian Kesehatan)
Editor: Copywriter
Copyright © ANTARA 2014