Jakarta (ANTARA News) - Ratusan calon tenaga kerja Indonesia (TKI) dengan tujuan penempatan Korea Selatan tertipu dengan total kerugian hingga Rp7 miliar oleh oknum pengusaha penempatan tenaga kerja Indonesia swasta (PPTKIS) yang bekerjasama dengan oknum pejabat di Depnakertrans dalam program penempatan G to G (antar pemerintah).
Edi dan teman-teman yang direkrut Hermin Sukarsih (koordinator) dan suaminya Armedi Nawi di Jakarta, Sabtu, menyatakan niatnya melaporkan kasus itu ke Komisi Penyelesaian Korupsi (KPK), jika Depnakertrans tidak membantu menyelesaikan pengembalian uang calon TKI itu.
Saat ini Edi dan sembilan rekan lainnya masih bertahan di Penampungan TKI di Ciracas, Jakarta Timur, sampai menunggu penyelesaian kasus yang menimpa dirinya dan ratusan calon TKI lainnya.
Edi, Hermin, dan Armedi serta sejumlah calon TKI yang didampingi kuasa hukumnya Arie H Hawadi dari Assosiates Legal Consultan, menjelaskan, penipuan yang menimpa mereka yang bermula pada Juni 2005.
Ketika itu, MIHT mendatangi rumah Hermin di Madiun dan mengaku dirinya diperintah BKY (saat itu menjabat salah satu direktur di Ditjen Penempatan tenaga Kerja Luar Negeri Depnakertrans) dan menunjuk Hermin dan suaminya sebagai Koordinator untuk mengumpulkan 500 calon TKI untuk ditempatkan ke Korea Selatan sebagai tenaga operator.
Singkat waktu mereka berhasil mengumpulkan 430 calon TKI di Jawa Timur, dan dari pertemuan di Jakarta dengan MIHT yang mengaku Direktur PT Pmr dan PT MMML yang dihadiri BKY, disepakati setiap calon TKI harus menyetor Rp9 juta untuk mendapat ID dari Depnakertrans agar bisa bekerja di sana.
Hermin dan suaminya akhirnya menyetorkan uang sebesar Rp2,675 miliar milik Edi dan teman-teman dan Rp500 juta milik Pailan Din Kartasasmita (korban penipuan lainnya) via bank.
"Ketika itu MIHT berjanji memberangkatkan TKI paling awal sekitar Juli-Agustus 2005, tapi sampai waktu yang ditentukan, calon TKI yang telah dilengkapi register BP2TKI Jatim dan ID Depnakertrans tersebut tidak juga diberangkatkan. Akhirnya kami yang menjadi sasaran kemarahan calon TKI karena dianggap menipu," kata Hermin.
Tapi usaha menagih pada Imron terus dilakukan, sampai melalui teleconference dengan TKI, Imron kembali berjanji akan memberangkatkan pada Desember 2005. Tapi lagi-lagi janji tidak ditepati.
Bahkan ketika dilakukan pengecekan ke Depnakertrans, ternyata ID yang diberikan BKY "bodong" alias tidak terdaftar di Depnakertrans.
"Akibatnya kami menjadi sasaran kemaran TKI, dan akhirnya terpaksa menjual harta benda miliknya untuk mengembalikan uang TKI yang telah direkrut," tutur Hermin dan Armedi.
Karena itu, melalui kuasa hukumnya mereka akan melaporkan kasus ini ke KPK, karena terkait adanya oknum pejabat Depnakertrans yang terlibat dan diindikasikan melakukan korupsi.
Mereka juga akan menggugat pemerintah RI C/q Depnakertrans baik secara perdata maupun pidana.
Hermin dan Armedi yang sudah bangkrut masih berusaha mencari peluang untuk memberangkatkan calon TKI tersebut. Melalui Ny. Lince dan Yongki Rompas cs yang berjanji bisa memberangkatkan TKI tersebut dengan
demand letter dari Korea sekitar Maret-April 2006.
Hermin kembali menyetorkan uang sekitar Rp2,5 miliar ditambah biaya akomodasi Rp1 milyar ke YR melalui rekening GS (pemilik saham disejumlah perusahaan penerbangan di Indonesia).
"Ternyata TKI tidak juga diberangkatkan pada waktunya, malah Ny Lince kini ditahan di Rutan Pondok Bambu dalam kasus penampungan ilegal dan Yongki Rompas di tahan di LP Cipinang. Kami sudah melaporkan kasus ini Polda Metro Jaya," kata Hermin yang mengaku merugi hingga Rp7 miliar.
Program G to G antara Indonesia dan Korea Selatan sebenarnya baru kembali dibuka pada Oktober 2006, setelah Menakertrans menandatangani MoU (Kesepakatan Bersama) dengan Menteri Tenaga Kerja Korea Selatan Pada 9 Oktober 2006.
Direktur Jenderal Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja Luar Negeri (PPTKLN) I Gusti Made Arka, dalam keterangan pers beberapa waktu lalu memang mengatakan ada oknum pejabat yang ditindak. Namun dia tidak menyebut nama BKY.
Dia mengakui, program G to G ini masih banyak kelemahannya yang ternyata dimanfaatkan oleh oknum di Depnakertrans sendiri dan oknum dari Korea Selatan.
"Untuk mengatasinya, kami mempunyai kode khusus untuk membuka daftar calon TKI di Komputer, agar tidak ada lagi calon TKI yang kena tipu," ujarnya.
Dia juga menambahkan saat ini sudah ada penipu calon TKI yang diproses secara hukum.(*)
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2006