Bermodal perahu dengan panjang tujuh meter dan lebar lumbung 1,5 meter, Anjas merantau ke Jakarta demi menafkahi keluarganya tiga tahun lalu. Pria Indramayu itu memilih tinggal di perahu selama bekerja di perantauan.

Ketika malam datang dan gedung-gedung bertingkat Ibu Kota berdiri seperti tumpukan dadu gemerlap dalam gelap, dengan selembar selimut untuk menghangatkan tubuh dia tidur beralas tikar, berdampingan dengan pukat yang memenuhi setiap sudut perahunya.

Hembusan angin laut, desiran ombak, setia menemani malam-malamnya.

"Di perahu aman, tidak ada aturannya dan gratis. Cuma kalau hujan harus pasang tenda. Selama ini aman-aman saja, mau di tengah laut atau di dermaga," katanya seraya melepas pukat ke perairan Teluk Jakarta, sekitar satu kilometer dari Pantai Ancol, Jakarta Utara.

Setiap hari dia menghabiskan kebanyakan waktunya di kapal, melaut, memperbaiki jaring, menjemur pakaian, beristirahat, dan tidur.

"Kalau mandi, nyuci di pantai atau numpang di rumah teman nelayan. Kadang mereka (nelayan) memberikan sarapan kalau ketemu di laut," kata Anjas, yang kadang juga meninggalkan perahu untuk berbelanja perlengkapan melaut.

Anjas biasa melaut dini hari. Pukul 03.00 pagi dia membawa perahunya meninggalkan dermaga bersama kapal-kapal yang beriringan seperti semut keluar dari sarangnya di perkampungan Luar Batang, Penjaringan, Jakarta Utara.

"Yuk berangkat, sudah hampir pagi," kata pria berambut lurus pendek itu seraya menyalakan mesin perahu.

Anjas sudah jadi nelayan sejak duduk di bangku Sekolah Dasar.

"Awalnya sih ikut sama nelayan di kampung. Sekolah tidak selesai, sampai sekarang jadi nelayan kecil," kenangnya seraya mengemudikan perahu melintasi deretan phinisi yang bersandar di Pelabuhan Sunda Kelapa.

Dia kemudian memilih merantau ke Jakarta dengan harapan Ibu Kota bisa memberi lebih banyak peluang.

"Di sini mudah cari uangnya, saya mencari ikan subuh, paginya sudah ada pembeli menunggu, itu kalau cuaca lagi bagus. Di kampung susah, harga ikannya murah," katanya seraya menarik pukat yang telah dia pasang.

"Lumayan tangkapannya. Di sini dulu banyak ikan, pertama saya melaut di sini hasilnya lumayan banyak dibanding sekarang. Tapi tiap bulannya ikannya berkurang mungkin karena lautnya sudah kotor," kata Anjas, yang karena tinggal di perahu tidak dianggap sebagai bagian dari warga kota, tidak punya Kartu Tanda Penduduk DKI Jakarta.

Saat kilauan cahaya emas mentari muncul di ufuk timur dan menghangatkan udara pagi, di jembatan dermaga Pantai Ancol orang-orang sudah bersandar di tiang pembatas jembatan, menyambut para nelayan layaknya penumpang menunggu bus di halte.

Anjas mendayung perahunya mendekati mereka, lalu menawarkan ikan tangkapannya kepada pembeli yang sebagian sudah berlangganan dengannya. Ia mendapat seember ikan, sekitar 10 kilogram, yang antara lain terdiri atas ikan baronang yang seukuran telapak tangan orang dewasa, kakap batu, dan kepiting.

"Baronang ada, kepiting ada. Semuanya Rp300 ribu seember," katanya.

"Inilah keseharian nelayan, yuk kita bakar ikan di sana," katanya seraya menunjuk sebuah perkampungan di Kawasan Ancol.

Anjas menyisihkan sebagian uang hasil jualan ikan untuk dikirim ke istrinya yang tinggal di Indramayu.

"Setiap bulan kadang-kadang setiap dua minggu saya ngirim duit buat istri, buat susu anak saya yang masih umur 1,5 tahun," katanya.

Kadang istri dan anaknya datang ke Jakarta. Mereka juga tinggal di perahu dan ikut melaut saat mengunjungi Anjas.

"Pernah sekali istri dan anak saya datang, waktu itu umur anak saya masih satu tahun. Anak saya tidak rewel, justru senang main, semua barang-barang dibuang ke laut. Untung waktu itu cuacanya bagus, tidak hujan," kenang Anjas sambil membakar ikan hasil tangkapannya.


Bergantung pada alam

Seperti nelayan tradisional yang lain, Anjas lebih banyak mengandalkan alam.

"Kalau musim kepiting, kami nelayan mencari kepiting dengan jaring udang. Kalau bulan purnama, kami kebanyakan mencari cumi karena ikan pasti sulit didapat. Jadi kami nelayan bisa dikatakan nelayan musiman, tidak jelas tangkapannya, campur-campur," katanya.

Dia juga harus menyesuaikan diri dengan tinggi gelombang laut, hembusan angin dan cuaca.

"Saya ini nelayan kecil, bukan nelayan dengan kapal besar yang kalau cuaca buruk tetap melaut. Kalau hujan deras, saya tidak melaut. Ya terpaksa duit sisipan dipakai buat makan," katanya.

Anjas tidak berharap banyak pemerintah akan memperhatikan nasibnya, dia tidak yakin para pejabat pemerintahan akan mendengarkan keluh kesahnya.

"Mana ada yang mau dengar nelayan kecil, paling yang didengar para pengusaha kapal. Kami nelayan kecil tetap akan menjadi nelayan kecil. Cita-cita hanya jadi mimpi," katanya lalu tertawa kecil.

Anjas mencontohkan, pemerintah memberikan subsidi bahan bakar minyak untuk nelayan tapi sebagai bagian dari nelayan dia tidak menikmati bahan bakar bersubsidi itu.

"Saya tidak pernah beli solar subsidi, ngantrinya panjang, nunggu kapal nelayan gede selesai. Saya beli solar dari pengecer langganan nelayan di sini, kadang Rp7.000, kadang Rp8.000 per liter," katanya.


Berganti perahu

Setelah enam bulan, rambut Anjas yang sebelumnya pendek sudah hampir sebahu, kulit wajahnya bertambah kusam karena tiap hari terbakar matahari.

Dia mendayung perahunya menuju dermaga kecil tempat perahu-perahu nelayan bersandar di kawasan Ancol.

Sekarang perahunya lebih kecil, panjang sekitar dua meter, lebar lumbung sekitar satu meter, dan hanya mampu menampung dua orang saja.

"Perahu yang kemarin sudah saya jual dua bulan lalu, bulan Agustus. Ini perahu saya yang sekarang, tidak perlu solar," katanya seraya mengangkat pukat keluar dari perahu.

Menurut dia, perahu kecil lebih hemat dan efisien. Apalagi sekarang dia tidak perlu perahu bertenaga besar karena hanya mencari ikan di sekitar Pantai Ancol.

"Perahu kemarin ongkosnya besar, harus beli solar baru bisa melaut, bagus kalau dapat ikan yang banyak. Sekarang saya cari ikan di Pantai Ancol dan tidak melaut lagi yang jauh-jauh," katanya

"Hasilnya tidak seberapa, tapi lumayan buat beli susu untuk anak. Semoga anak saya bisa sekolah dan tidak seperti saya," kata Anjas, yang setiap dua pekan sekali mengirimkan sebagian penghasilannya kepada anak dan istrinya di kampung.

Sekarang Anjas tidak lagi tinggal di perahu. "Sekarang tinggal bersama teman, kadang tidur di warung, pokoknya asal bisa istirahat," katanya.

Dia kini mulai memasang pukat sekitar pukul 20.00 WIB dan menariknya sekitar pukul 04.00 WIB.

"Di Ancol ini ikannya sudah jarang, paling banyak kepiting. Jadi pasang pukat yang banyak supaya dapat banyak, paling sedikit pasang lima," kata Anjas, yang menjual hasil tangkapannya di Dermaga Ancol.

Selain mencari ikan, dia terkadang mendapat pesanan dari rekannya untuk membuat pukat. "Kalau sudah pasang pukat, siangnya buat jaring pesanan teman, lumayan buat tambahan," katanya.

Sekarang dia berharap pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Jusuf Kalla memperhatikan nelayan kecil. "Berharap Pak Jokowi bisa buat kami maju dan sejahtera, bukan cuma nelayan gede," katanya.

Ketua Depertemen Perikanan Tangkap Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Rendra Purdiansa mengatakan nelayan kecil seperti Anjas sangat membutuhkan perhatian dari pemerintah, baik dalam penyediaan alat tangkap dan tempat penyimpanan layak maupun perumahan.

"Mereka itu sangat tergantung dengan cuaca, dan hasil tangkapannya sangat sedikit. Mereka kebanyakan tidak lanjut sekolah, hanya bisa baca, tulis dan hitung," kata Rendra.

Para nelayan, ia melanjutkan, juga kebanyakan masih tinggal di pemukiman pesisir yang kumuh dan tidak tertata dengan akses terhadap sanitasi dan air bersih terbatas.

"Coba perhatikan pemukiman nelayan, ada yang bagus? Hampir semua kelihatan kumuh," katanya.

Pemerintah, menurut Koordinator Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Slamet Daroyni, juga harus memperbaiki kerusakan serius Teluk Jakarta, yang berdampak pada populasi biota laut di perairan tersebut, dan akhirnya membuat para nelayan kesulitan mendapat hasil laut.

"Pencemaran ini disebabkan limbah industri misalnya yang berada di pesisir Jakarta Utara, limbah rumah tangga, kapal kargo dan limbah pelabuhan. Ini sangat berdampak pada tangkapan nelayan," kata Slamet.

"Kami berharap pemerintah tidak memperluas pembangunan di kawasan hutan mangrove, hutan basah, karena hal itu memperparah kerusakan lingkungan pesisir," katanya.

Oleh Zabur Karuru
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2014