Ketika krisis global 2008 menghampiri Indonesia, kita lebih siap dan berhasil mencegah negeri kita masuk dalam pusaran krisis..."

Jakarta (ANTARA News) - Seorang wanita paruh baya tampak memasuki sebuah kantor bank plat merah.

Ia melewati pintu transparan yang di sampingnya tertempel sebuah stiker berwarna kuning dengan tulisan huruf berwarna hitam.

Kurang lebih sekitar setengah jam, wanita tersebut keluar dan hendak berjalan menuju mobil.

Saat diwawancarai Antara, wanita tersebut mengaku hanya sekadar melakukan transaksi transfer ke bank lain.

Yang menarik justru tatkala ia ditanyai soal stiker bertuliskan "Bank Peserta Penjaminan LPS".

Wanita yang mengaku sebagai ibu rumah tangga itu menyatakan tidak tahu banyak mengenai LPS, namun ia mengerti bahwa stiker tersebut menandakan bahwa uang yang disimpannya di bank tersebut dijamin oleh lembaga tersebut.

"LPS itu kan Lembaga Penjamin Simpanan ya. Kalau saya, yang penting duit suami saya aman di bank kalau ada apa-apa. Jadi milih nabungnya di bank-bank yang sudah jelas aja," ujar Farida (51).

Senada dengan Farida, salah seorang karyawan swasta, Wiguna Ayomi (28), juga mengatakan dirinya faham maksud dari stiker LPS tersebut sebab sering ia jumpai saat bepergian ke mal-mal di mana biasanya terdapat kantor-kantor cabang sejumlah perusahaan perbankan.

Namun, ia juga punya pengalaman menemukan stiker tersebut ditempel di sebuah kantor bank kecil, tetapi stiker tersebut dipasang di tempat-tempat yang relatif tersembunyi dari pandangan mata.

"Saya bahkan pernah juga lihat bank yang nggak nempelin stiker LPS itu. Padahal harusnya ditempel ya biar kita nggak dibodoh-bodohin. Tapi kalau saya nabungnya di bank-bank yang sudah terkenal saja biar nggak kayak Century, lebih aman." tuturnya kepada Antara.

Walaupun masih ada nasabah yang trauma dan takut kehilangan dananya apabila terjadi krisis, setidaknya kehadiran LPS telah memberikan rasa aman bagi nasabah dalam bentuk penjaminan simpanan.

Apalagi sejak 13 Oktober 2008, saldo simpanan yang dijamin untuk setiap nasabah pada satu bank dinaikkan dari maksimal Rp100 Juta menjadi Rp2 miliar.

Berdasarkan data LPS per Juli 2014, total sekitar 152,8 juta rekening nasabah yang menyimpan dananya di bank, tumbuh sekitar 73 persen dibandingkan dengan jumlah rekening pada 2009 sebanyak 88,08 juta rekening. Angka tersebut menunjukkan kepercayaan masyarakat terhadap industri perbankan.

Namun, dari 152,8 juta rekening tersebut, sebanyak 99,88 persen atau 152,61 juta adalah nasabah dengan simpanan di bawah Rp2 miliar, yang berarti dijamin oleh LPS.

Sementara itu, sisanya sebanyak 0,12 persen atau sekitar 187 ribu rekening merupakan nasabah dengan simpanan di atas Rp2 miliar.

Dari 152,61 juta rekening yang dijamin LPS, 149,36 juta rekening merupakan rekening dengan nominal di bawah Rp100 juta, sementara sisanya 3,25 juta rekening nasabah dengan simpanan Rp100 juta hingga Rp2 miliar.

Nasabah-nasabah pemilik rekening inilah yang sebenarnya harus dilindungi, terutama dari ulah oknum bankir yang merugikan.

Apabila dicermati lagi, nasabah dengan simpanan di atas Rp2 miliar sendiri jumlahnya memang relatif sangat kecil yakni hanya 187 ribu rekening, namun jika dilihat dari sisi nominal simpanan, 187 rekening tersebut memiliki simpanan mencapai Rp2.043,32 triliun atau 53,31 persen dari total simpanan di bank.

Jumlah tersebut lebih dari separuh total simpanan, jika dibandingkan simpanan nasabah di bawah Rp2 miliar yang hanya Rp1.789,24 triliun atau 46,69 persen dari total simpanan.

Angka-angka tersebut sejatinya juga mengindikasikan bahwa deposan-deposan besar tentunya dapat melindungi diri mereka sendiri dengan limpahan dana yang mereka miliki, namun tidak bagi nasabah-nasabah kecil.

Penanganan bank

Sekitar tiga bulan yang lalu, LPS baru saja menandatangani nota kesepahaman dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terkait pengawasan bank.

Inti dari kesepakatan tersebut yakni LPS kini dilibatkan dalam pemeriksaan bank bersama dengan OJK, khususnya penanganan bank yang bermasalah.

"Kini, kami akan terlibat dalam intervensi jika menghadapi bank yang terancam gagal," kata Kepala Eksekutif LPS Kartika Wirjoatmojo.

Dengan wewenang tambahan tersebut, tentunya fungsi LPS untuk turut aktif dalam memelihara stabilitas sistem perbankan seharusnya dapat dilakukan dengan lebih baik.

Jika dulunya LPS melakukan deteksi dini melalui internal rating, kini LPS bisa memonitor dan mengevaluasi kondisi bank secara langsung.

Sebagai industri yang berbasis trust, industri perbankan memang sangat bergantung pada kepercayaan masyarakat.

Kinerja perbankan sendiri saat ini juga terlihat cukup baik, yang ditunjukkan oleh rasio kecukupan modal (CAR/Capital Adequacy Ratio) yang masih tinggi sebesar 19,8 persen dan rasio kredit bermasalah (NPL) gross yang rendah rata-rata sebesar 1,9 persen.

Sejak Oktober 2012, LPS tergabung dalam Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK) bersama Kementerian Keuangan, Otoritas Jasa Keuangan, dan juga Bank Indonesia.

Hal ini mengindikasikan bahwa LPS juga punya peran penting untuk memperkuat ketahanan keuangan di dalam negeri apabila terjadi gejolak ekonomi.

Ketua Umum Perhimpunan Bank-bank Umum Nasional Sigit Pramono mengatakan, LPS menandai era baru tatakelola penangangan sektor perbankan jika menghadapi krisis.

Jika penjaminan simpanan sebelumnya bersifat reaktif, setelah LPS lahir penjaminan itu sebagai upaya preventif.

Dana penjaminan simpanan sebelumnya berasal dari anggaran pemerintah melalui BI (yang lazim disebut unfunded system), pada era LPS diterapkan funded system dengan model perusahaan asuransi.

"Karena itu, LPS tidak lain merupakan perusahaan asuransi sehingga nama lain LPS ialah Indonesia Deposit Insurance Corporation (IDIC)," ujar Sigit.

Menurut Sigit, kelahiran LPS adalah sebuah langkah maju bangsa Indonesia dalam upaya untujk mengatasi dan melakukan mitigasi risiko jika negara berpotensi mengalami krisis yang dipicu oleh bank gagal.

Ia menyebut hal itu sebagai langkah maju karena ketika krisis 1997-1998 menghantam Indonesia, pemerintah pada saat itu sangat tidak siap, tidak punya pengalaman menangani krisis perbankan hingga akhirnya harus membebani APBN lebih dari Rp600 triliun untuk pengambilalihan bank-bank agar sistem pembayaran tidak bangkrut.

"Ketika krisis global 2008 menghampiri Indonesia, kita lebih siap dan berhasil mencegah negeri kita masuk dalam pusaran krisis yang lebih buruk dengan mengambilalih satu bank menggunakan dana LPS, bukan lagi dana APBN," kata Sigit.

Satu lagi upaya yang patut diapresiasi yakni keberhasilan LPS menjual Bank Mutiara kepada investor asal Jepang J Trust Co Ltd.

J Trust menyisihkan calon investor lainnya yakni PT Bank Rakyat Indonesia, Tbk (BRI), PT Artha Graha, Tbk, Bank of China, dan Leong Bank dari Malaysia.

Data-data dan dokumen untuk uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) J Trust telah diserahkan kepada OJK.

Untuk harga jual Bank Mutiara sendiri, baru akan diungkapkan oleh LPS setelah fit and proper test rampung.

Ke depan, LPS tentunya diharapkan dapat menjalankan fungsi dan tugasnya dengan jauh lebih baik, terlebih tahun depan Bank Sentral Amerika Serikat The Fed akan menaikkan suku bunga.

Pakar ekonomi dari Universitas Harvard Carmen M Reinhart, menilai tantangan terbesar Indonesia pada 2015 adalah menghadapi arus modal keluar atau capital outflow dengan adanya kenaikan suku bunga The Fed tersebut.

"The Fed akan meningkatkan suku bunga pada tahun depan, Indonesia harus bersiap menghadapinya," ujar Reinhart.

Terjadinya arus modal keluar tentunya akan mempengaruhi stabilitas sistem perbankan nasional.

LPS harus terus berkoordinasi dengan OJK dalam mengawasi perbankan, serta terus mendorong pemerintahan baru dan parlemen untuk segera mengesahkan Undang-Undang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) sebagai payung hukum pengambil kebijakan yang tergabung dalam FKSSK untuk menghadapi krisis yang bisa datang kapan saja.

Oleh Citro Atmoko
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2014