Bengkulu, (ANTARA News) - Penyelamatan kawasan hutan konservasi di Provinsi Bengkulu sampai sekarang belum terlambat, asal masyarakat dan pemerintah daerah serius dan punya tekad serta persepsi yang sama terhadap perlunya kawasan konservasi. Kerusakan kawasan hutan konservasi di Bengkulu setiap bulan terus bertambah, salah satu penyebabnya karena berlum sejalannya persepsi masyarakat dan pemerintah daerah, kata Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Provinsi Bengkulu Ir Agung Setyabudi kepada ANTARA di Bengkulu, Kamis (9/11). Ia menilai, dampak ketidakkompakan antara masyarakat dan pemerintah daerah itu maka praktek perambahan tidak terelakan, akhirnya berimbas pada kerusakan kawasan hutan secara besar-besaran. Perambahan hutan oleh masyarakat itu sebetulnya bukan untuk kebutuhan masyarakat kecil semata, melainkan dipicu akibat adanya kepentingan sesaat dari oknum tertentu. Ke depan diharapkan ada penyatupaduan tekad masyarakat dan pemerintah daerah untuk mempertahankan kawasan hutan yang masih ada sekarang, khususnya hutan konservasi di Provinsi Bengkulu. Dari luas kawasan hutan konservasi yang ada sekarang mencapai 45.000 haktare 40 persen di antaranya sudah rusak dan tersebar di 33 lokasi, sedangkan pengamanannya dinilai belum serius. Kawasan hutan yang rusak itu sebagian besar dirambah masyarakat untuk dijadikan lahan perkebunan dan ladang berpindah, sedangkan lainnya terkikis oleh perluasan kawasan perkebunan besar swasta. Kawasan hutan konservasi yang sudah rusak itu sangat sulit dihijaukan, karena pembuatan bibit kayu harus sesuai endemik setempat dan memakan waktu cukup lama, terlebih apabila pemulihan kawasan hutan secara alami bisa mencapai 50 tahun. "Bagi kawasan yang belum rusak sebaiknya dijaga dan dipelihara demi kelangsungan hidup anak cucu ke depan. Apalagi kawasan konservasi dapat menyimpan aneka ragam hayati secara yang berkaitan erat dengan kehidupan manusia," kata Agung yang akan mendapat tugas baru di Provinsi Jambi. Upaya pengamanan kawasan hutan konservasi tetap dilakukan, termasuk melakukan operasi repersif dan sosialisasi kepada masyarakat.MemprihatinkanSementara itu, khusus kawasan hutan cagar alam yang membentang dari wilayah Kabupaten Bengkulu Utara sampai ke Kabupaten Seluma seluas 9.526 hektare terancam habis, bahkan diduga kini hanya tersisa sekitar 20 persen akibat perambahan liar dan beroperasinya beberapa perusahaan besar, tambah Agung Setyabudi. Kawasan hutan cagar alam itu tidak hanya dirusak oleh masyarakat sebagai peladang berpindah dan menetap, tapi juga oleh beberapa perusahaan besar yang bergerak di sektor pertambangan batubara, misalnya untuk pembuatan jalan, sementara reklamasi bekas tambang tidak pernah dilakukan. Ia menontohkan, hutan Buru Bukit Kabu itu merupakan salah satu kawasan resapan dari beberapa anak sungai antara lain Sungai Rinduhati, di Kecamatan Taba Penanjung dan Sungai Jenggalu di Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Seluma serta puluhan anak sungai lainnya. Penggarap yang ada di kawasan itu saat ini sekitar 2.000 Kepala Keluarga (KK) dengan kegiatan membuka kebun kopi, lada dan bahkan ada yang menanam kelapa sawit serta membuka ladang berpindah, sehingga membuat hutan konservasi itu babak belur. Untuk memulihkan kelestarian kawasan itu diperlukan keseriusan semua pihak dan didukung oleh dana atau secara bertahap memasukan program Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (Gerhan) dengan melibatkan masyarakat penggarap. Pembukaan di kawasan itu bukan lagi membabat lahan yang datar, tapi lahan yang berkemiringan 60 derajat pun dijadikan ladang, sedangkan bekas garapan sebelumnya sebagian besar sudah menjadi semak belukar dan hutan alang-alang. Apabila kawasan konservasi itu sudah gundul, seluruh keanekaragaman hayati akan punah termasuk hewan langka yang dilindungi, katanya. "Kita sama-sama berjuang meningkatkan pembangunan di segala sektor, namun kawasan hutan juga jangan sampai terabaikan," ujarnya. Ia menyadari pemekaran wilayah telah berdampak pada pengurangan kawasan hutan, tapi pembangunan harus berjalan seimbang.(*)
Copyright © ANTARA 2006