Kabinet Jokowi-JK tidak akan dapat diharapkan bila orang-orang di dalamnya 'kotor' atau terlibat kejahatan HAM."
Jakarta (ANTARA News) - "Kami tidak butuh kehadiran Jokowi, yang penting adalah tindakannya untuk segera membentuk pengadilan adhoc, menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM."
Kalimat itu dikatakan Suciwati pada Kamis sore di seberang Istana Merdeka, jalan Merdeka Barat Jakarta Pusat.
Suciwati adalah istri aktivis hak asasi manusia Munir Said Thalib. Sang suami dibunuh pada 7 September 2004.
Suciwati dan puluhan korban serta keluarga korban pelanggaran HAM setiap Kamis menggelar "aksi diam" atau Kamisan di seberang Istana Merdeka.
Mereka menuntut penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM di Tanah Air.
Kamis (23/10) adalah Kamisan ke-371 dan sudah memasuki tahun ke-8.
Tidak ada yang berbeda dalam aksi mingguan mereka meski kali ini adalah aksi pertama mereka pada masa pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla.
Setiap Kamisan, para peserta menggunakan payung hitam bertuliskan tuntutan penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM.
Kamis sore tersebut, dua spanduk hitam yang ditempeli foto-foto korban pelanggaran HAM dibentangkan di depan peserta Kamisan.
Tuntutan mereka masih sama, mendesak pemerintah segera menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM, antara lain kasus pembantaian tahun 1965-1966, kasus Trisakti dan Semanggi, hingga kasus pembunuhan Munir.
Sumarsih, Ibunda Benardinus Realino Norma Irawan (Wawan), mahasiswa Universitas Atma Jaya yang tewas saat peristiwa Semanggi I pada 1998 mengharapkan Presiden Jokowi tidak diam dan segera menghapus impunitas.
Impunitas adalah kebijakan membiarkan atau melindungi pelaku kejahatan dari tanggung jawab dan sanksi kejahatan yang telah dilakukannya.
"Segera realisasikan agenda reformasi tentang penegakan hukum, termasuk kasus pelanggaran HAM yang diwariskan SBY-Boediono kepada Jokowi-JK," katanya.
Ia mengatakan dalam visi dan misi Jokowi-JK ada janji penyelesaian kasus-kasus kejahatan HAM dan penghapusan impunitas.
Seperti aksi Kamisan lainnya, kali ini mereka pun menyampaikan surat kepada Presiden Jokowi yang berisi tuntutan untuk segera menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM.
"Kami ingin keadilan ditegakkan dan yang membanggakan adalah aksi ini tidak hanya diikuti para korban dan keluarganya, tapi juga anak-anak muda," katanya.
Penelitian Komnas HAM
Empat orang korban peristiwa penangkapan dan pembunuhan terhadap orang-orang yang dituduh komunis pada 1965 dan 1966, Bedjo Untung, Machmuri, Tasrif, dan Efendi Saleh juga hadir pada aksi Kamisan di depan Istana Merdeka.
Bedjo bercerita dia ditangkap pada dan dipenjara selama sembilan tahun tanpa proses hukum.
"Negara harus meminta maaf dan memulihkan hak-hak korban. Lebih penting lagi agar apa yang kami alami jangan terjadi lagi pada generasi mendatang," kata pria kelahiran Pekalongan, Jawa Tengah pada 14 Maret 1948 tersebut.
Tasrif, mengeaku pemain ludruk yang ditangkap di Malang pada 1965 dan dibebaskan pada 1979.
Ia juga meminta negara segera mewujudkan keadilan bagi mereka yang menjadi korban pelanggaran HAM oleh negara.
Pria yang tinggal di Tangerang Selatan ini mengharapkan tanah dan rumahnya yang dirampas pada 1965 juga dikembalikan.
"Kami tidak hanya ditangkap, disiksa dan dipenjara selama puluhan tahun tapi juga dimiskinkan," katanya.
Direktur Imparsial Poengky Indarti yang turut dalam Kamisan mengatakan penuntasan kasus-kasus kejahatan HAM dapat dimulai dengan pemilihan anggota kabinet pemerintahan Jokowi-JK.
"Kabinet Jokowi-JK tidak akan dapat diharapkan bila orang-orang di dalamnya 'kotor' atau terlibat kejahatan HAM, karena itu pemilihan anggota kabinet ini penting," katanya.
Bila hal itu tidak terwujud, maka pemerintahan Jokowi-JK menurutnya tidak berbeda dengan pemerintahan sebelumnya.
Pewarta: Helti Marini Sipayung
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2014