Jakarta (ANTARA News) – “Bangsa yang hebat adalah a driver nation. “Driver nation” sendiri hanya bisa dihasilkan oleh pribadi-pribadi yang disebut “driver”, yang menyadari bahwa ia adalah mandataris kehidupan, dan pemimpin-pemimpinnya sadar bahwa ia mendapat mandataris dari rakyat untuk melakukan perubahan,” tulis Rhenald Kasali, Ph.D., Guru Besar Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia (FEUI).
Dalam buku terbarunya, Rhenald Kasali menggugat mentalitas penumpang (“passenger”) yang meliputi banyak orang di Indonesia. Ia menyakini bahwa kaum muda harus bisa keluar dari perangkap mental penumpang bila ingin menggapai kesuksesan yang lebih besar.
Konsep penumpang (“passenger”) versus pengemudi (“driver”) yang dimaksud dalam buku berjudul "Self Driving: Menjadi Driver atau Passenger?" ini bukan sekedar orang yang bekerja sebagai sopir dan penumpang di dalam kendaraan.
“Driver” adalah sikap hidup yang diambil 180 derajat berbeda dengan “passenger”.
Menjadi “driver” berarti orang yang mengambil risiko, mengajak orang-orang untuk berkembang dan keluar dari tradisi menuju keadaan yang lebih baik.
Mereka-lah yang melakukan pembaruan-pembaruan dan mengambil inisiatif dengan tetap welas asih. Mereka yang mengambil peran sebagai “driver” harus selalu waspada, kompeten, dan terasah oleh pengalaman dan pendidikan.
Tapi bagaimana bila menjadi pengemudi dan kendaraan yang Anda kendarai mengalami kecelakaan? Jangan-jangan nanti saya ditangkap polisi.
Faktanya memang jika ada kecelakaan mobil, penumpang tidak pernah ditangkap polisi. Selalu si sopir yang ditangkap dan “pasang badan” sebagai pertanggungjawaban.
Rhenald yang kini menjadi Rektor Universitas Podomoro meluruskan kekhawatiran mengambil risiko ini dengan analogi statistik kecelakaan lalu lintas. Terbukti hanya 0,1 persen dari jutaan pengemudi yang menimbulkan kecelakaan fatal. Mayoritas keadaan itu disebabkan oleh alkohol, kebiasaan buruk, atau mengantuk.
Kebanyakan orang memang menghindari posisi “driver” karena mereka sudah terlalu nyaman menjadi “passenger”. Terlalu lama menjadi penumpang yang bisa sambil ngobrol dan makan di kursi penumpang, bekerja asal-asalan dan tak jarang mendapat gaji tanpa kerja yang jelas.
Buku ini mengajak pembacanya berpikir untuk melawan mental penumpang dengan menyatir sastrawan George Bernard, “Hanya 2 persen orang di dunia ini yang benar-benar berpikir, 3 persen mengira ia sedang berpikir, dan 95 persen sisanya lebih memilih mati daripada harus berpikir.”
Seorang “driver” memiliki empat prinsip yang menjadi ciri khas. Ia bekerja tanpa banyak perintah (inisiatif), mampu mendengar lalu memahami serta peduli (melayani), tahu arah serta mampu mengarahkan (navigasi), dan tidak menyalahkan orang lain apalagi menutup-nutupi kesalahan sendiri (tanggung jawab).
Lalu bagaimana ciri orang yang bermental “passenger”?
Orang berjiwa penumpang biasanya puas dengan apa yang ada sekarang, tidak suka tantangan baru. Setiap ada masalah, lebih sering menyerahkannya kepada atasan atau orang lain. Kalau bekerja, ia lebih suka menunggu disuruh dan menjawab dengan kata “siap”. Ia juga takut mendapat masalah dan menyelesaikan masalah. Bagian terburuk dari mental penumpang adalah ia menyandera organisasi sebagai alat untuk “menumpang hidup”.
“Driver” dan “passenger” terbagi lagi menjadi dua jenis. “Good driver”, “bad driver”, “good passenger”, dan “bad passenger”.
“Bad driver” ibarat sopir yang ugal-ugalan. Pembawaannya kasar, menguras energi kita untuk ribut-ribut alih-alih memberi solusi yang bermartabat. Rhenald menyebut tipe pemimpin yang buruk sebagai kumpulan orang sakit hati, agresif, dan lebih senang membuat alasan untuk menutupi kesalahan.
Di sisi lain, “bad passenger” biasanya tersandera masa lalu, ia menyimpan aneka dendam, selalu ingin didengar, dan berpandangan kalau hal itu berbahaya maka biarkan orang lain yang kerjakan: “Suruh saja si A!”
Lalu apa solusi buat orang-orang bermental penumpang, atau yang lebih parah lagi, pengemudi yang buruk?
Pertama kita harus hilangkan kata “bad” di depan tipe mental. Dari “bad” menjadi “good” adalah target awalan yang baik.
Resep pertama adalah keluar dari zona aman. Orang yang terlalu nyaman dengan kondisi yang sama secara menahun akan gaduh bila diminta untuk berubah. Bila Anda jago menyanyi, cobalah melukis atau bermain drama. Carilah kemampuan lain yang selama ini belum Anda kembangkan.
Langkah berikutnya adalah melatih seni bertutur dan gerak-isyarat yang tegas tapi tetap bersahabat (asertif). Orang yang pasif dan agresif hanya akan memaki tanpa ditujukan jelas ke orang yang merampas haknya. Sementara orang yang aktif asertif akan berbicara secara terbuka dan menampilkannya secara santun.
Anda juga harus melatih gaya berpikir di dalam boks yang baru (think in a new box), bukan think out of the box saja. Coba dengan berandai-andai tempat Anda bekerja sekarang bangkrut dan Anda harus berpikir cara untuk memulai dari awal.
Terapi selanjutnya adalah menjadikan diri disiplin dengan perubahan yang hendak ditempuh. Mulailah disiplin sekarang, dengan hal yang kecil. Jadikanlah hal-hal baik sebagai gaya hidup, jangan menunda-nunda pekerjaan. Terapkan strategi kelola tugas 3D: Do it, delegate it or dump it!
Buku terbitan Mizan setebal 265 halaman yang diluncurkan September 2014 ini menggugah dan terus menggugat gaya berpikir jiwa-jiwa yang terlalu lama menjadi penumpang. Terbiasa hidup apa adanya dan “alergi” memicu dirinya menjadi seorang pemimpin, seorang pengemudi.
Duduk di kursi penumpang memang santai, tapi membuat orang jadi kuper dengan rute dan strategi. Sementara menjadi pengemudi senantiasa mencari jalan-jalan baru, terobosan, dan solusi. Ambillah bagian dalam aksi, bukan ambil alasan untuk kegagalan.
Gugatlah mental-mental penumpang. Terlebih di tengah arus perubahan menuju Indonesia yang lebih baik, dengan presiden yang baru dan menjanjikan pembaharuan. Jangan hanya puas menjadi penonton yang selalu mengeluh dan berkomentar, tapi tidak ada aksi nyata membangun negeri.
Buku ini sangat tepat untuk dibaca setiap orang yang merindukan kehidupan yang lebih baik. Bukan hanya di tataran pribadi, tapi juga masyarakat dan sebagai bangsa. Jangan hanya tunggu presiden nanti berbuat apa, tapi mulailah menjadi gelombang perubahan itu dari diri sendiri.(*)
Oleh Ella Syafputri
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2014