Jakarta (ANTARA News) - Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah menegaskan perubahan nomenklatur kabinet Joko Widodo-Jusuf Kalla harus berdasarkan pertimbangan legislatif.

"Pertimbangan (DPR) itu prosedur apabila tidak dilaksanakan maka melanggar undang-undang. Dan apabila terjadi sesuatu hal maka parlemen bilang Jokowi melanggar undang-undang," kata Fahri di Gedung Nusantara III DPR, Jakarta, Rabu.

Dia mengatakan Undang-Undang Nomor 39 tahun 2008 tentang Kementerian Negara menyebutkan memberikan hak pada parlemen untuk mengecek ada atau tidak perubahan struktur kabinet.

Namun, menurut dia, undang-undang itu tidak memberikan hak pada DPR untuk mengecek orang yang akan dijadikan menteri dalam kabinet karena merupakan hak prerogatif presiden.

"Perubahan nomenklatur itu agak mendalam, karena terkait dengan perencanaan anggaran, realisasi anggaran, dan pertangungjawaban anggaran," ujarnya.

Fahri menginginkan Jokowi-JK tidak ada melakukan reshuffle.

"Kami ingin menteri yang mendampingi presiden adalah permanen, kompeten dan kuat sehingga bisa menjalankan proses check and balances dengan parlemen," ujarnya.

Sebelumnya Ketua DPR Setya Novanto mengatakan institusinya telah menerima surat dari Presiden Joko Widodo mengenai adanya perubahan dan penambahan jumlah kementerian yang ada di kabinet Jokowi-Jusuf Kalla.

"Saya barusan menerima surat dari Presiden Joko Widodo yang tertanggal 21 Oktober surat itu mengajukan adanya suatu penambahan dan perubahan jumlah kementerian," kata Setya Novanto di Gedung DPR, Jakarta, Rabu.

Dia mengatakan surat itu sudah sesuai dengan Pasal 17 ayat 4 UUD 1945 dan tidak lepas dari Pasal 6 UU nomor 39 tahun 2008 bahwa pembentukan kabinet paling lambat 14 setelah pelantikan yaitu jatuh pada tanggal 3 November 2014.

Dia mengatakan pasal 17 UU nomor 39 tahun 2008 disebutkan DPR memiliki waktu tujuh ari membalas surat tersebut dan institusinya berkomitmen untuk segera membalas surat Presiden Jokowi.

Pewarta: Imam Budilaksono
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2014