Jakarta (ANTARA News) - Keluarga Jenderal Aulbertin Walter Southern Mallaby (Jend. Mallaby) pimpinan perang dari Inggris yang terbunuh oleh pejuang-pejuang dari Madura dalam peristiwa perang selama 5 hari pada 10 November 1945, akan menyerahkan surat kepada Des Alwi, pelaku sejarah sekaligus pembuat dokumenter film perjuangan arek-arek Suroboyo. "Anak-anaknya Jenderal Mallaby, yang ada di Prancis dan Inggris, berjanji akan menyerahkan foto copy surat dari ayahnya yang dikirim kepada istrinya sebelum peristiwa 10 November 1945 terjadi," kata Des Alwi usai memutar film hasil produksinya di Gedung Juang 31 Jakarta, Kamis. Menurutnya, surat itu penting dijadikan dokumen sejarah karena menceritakan ketidak setujuan atas kebijakan atasannya yang menyuruh menyebarkan pamflet yang isinya mengintimidasi kepada rakyat Jawa Timur. "Semua penduduk kota Surabaya dan Jawa Timur untuk menyerahkan kembali semua senjata yang dimiliki kepada tentara Inggris. Barang siapa yang tidak menyerahkan senjata itu akan ditembak ditempat," demikian bunyi pamflet yang disebarkan lewat pesawat Dakota. Pamflet tersebut disebarkan lewat pesawat udara, yang langsung dipimpin oleh Komadan Devisi 23, Mayjen Hawthorn. Dengan adanya kebijakan menyebarkan plamflet itulah terjadi reaksi rakyat Jawa Timur yang luar biasa, yang akhirnya menyebabkan meninggalnya Jenderal Mallaby di gedung "Internatio", Surabaya, oleh para pejuang kemedekaan dari Madura dan Surabaya, kata Des Alwi, seraya menambahkan, barang kali jika pemeirntah Inggris tidak mengeluarkan ancaman, arek-arek Suroboyo tidak akan marah atau mengamuk. "Keluarga Mallaby beranggapan, meninggalnya sang ayah antara lain salah kebijakan yang membuat rakyat Surabaya menjadi chaos," katanya, sehingga dokumen itu penting untuk menjadi pelajaran semua pihak. Pemutaran film 10 November yang terdiri dari dua versi (versi Belanda) dan versi Indonesia itu, mendapat sambutan banyak pihak. Hadir antara lain, tokoh kemerdekaaan, Yusuf Ronodipuro, Letjen (Pur) Suyono, tokoh pres, Asegaf, Fikri Jufri, Rosihan Anwar dan mantan Ditjen Bea Cukai Suhardjo, serta bintang film Rae Sahetapi. Des Alwi mengatakan, film itu sengaja diputar dua versi agar generasi muda mengerti sejarah yang terjadi. Untuk versi Belanda, tidak tampak benar berbagai pelanggaran yang dilakukan para tentara Inggris kepada rakyat Jawa Timur. Namun dalam versi Indonesia, tentara Inggris yang direkrut dari India (yang dikenal dengan pasukan Gurka), menembaki anak-anak kecil, para pejuang dan memukul orang-orang yang tertangkap layaknya seperti menembak dan memukul seekor binatang tikus. Menurut Letjen (Pur) Suyono, "Kita harus dapat menghargai pembuat dokumenter itu. Des Alwi membuat film dengan biaya sendiri tetapi manfaatnya untuk rakyat banyak. Pemerintah seyogianya dapat mewadahi masalah itu, karena sangat penting untuk dokumen sejarah".(*)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2006