Jakarta (ANTARA News) - 20 Oktober 2014 adalah tanggal penting bagi Bangsa Indonesia. Bukan saja itu adalah masa ketika seorang presiden baru negeri ini dilantik, namun lebih dari itu, hari tersebut adalah menjadi awal dari sebuah tradisi baru, pesta rakyat.

Ide pesta rakyat tercetus dari kegembiraan rakyat saat seorang presiden yang dipilih langsung oleh rakyat akhirnya dilantik.

Tapi sang presiden baru, Joko Widodo, bukanlah orang pertama yang dipilih langsung menjadi Presiden Republik Indonesia. Yang pertama adalah yang dia baru saja gantikan dan selama sepuluh tahun belakangan memimpin negeri 17.000-an pulau di Asia ini, yakni Susilo Bambang Yudhoyono.

Namun pesta rakyat adalah ide sama sekali baru, karena tak pernah dilakukan sebelum-sebelum ini.

Pada acara ini, digelar berbagai acara, mulai konser musik, makan gratis jajanan kaki lima, sampai puncaknya, arak-arakan kereta kuda yang membawa Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla ke Istana Kepresidenan, beberapa jam setelah mereka dilantik di MPR di hadapan orang-orang istimewa nan mulia dari dalam dan luar negeri.

Menuju Bundaran Hotel Indonesia, sekitar pukul 13.30 WIB, Jokowi-JK menaiki kereta kuda. Sebuah kereta seperti andong yang dihela dua kuda dan dinakhodai seorang kusir berpakaian laksana prajurit era kerajaan masa lalu.

Baik Joko Widodo maupun Jusuf Kalla, masih mengenakan setelan jas lengkap karena sehabis mengikuti acara pelantikan mereka di Gedung DPR, ketika dia didaulat menaiki kereta kuda itu.

Semula jas mereka kenakan, namun tak berapa lama, dua nakhoda bagi negeri indah syahdu seperti digambarkan lagu "Rayuan Pulau Kelapa" itu melepaskan jasnya karena siang yang begitu terik membuat tubuh serasa sangat gerah, apalagi kalau tubuh masih dibalut busanan tebal seperti jas.

Mereka berdua menaiki kereta kuda berbalut warna merah beledu itu, sementara Iriana Widodo dan Mufidah Kalla menaiki kereta kedua.

Mereka melambaikan tangan kepada ribuan orang yang dengan antusiastis menyambut dan mengelu-elukan mereka, dan negerinya. "Hidup Indonesia!". seru rakyat di Bundaran HI.

Kereta kuda bergeraku amat pelan karena menembus lautan manusia yang antusiastis melihat sang presiden baru.

Siang itu, masyarakat dari penjuru negeri gegap gempita dalam suka cita menyambut Si Harapan Baru, begitu majalah ternama dunia, Time, menyebut Jokowi.

Dior Pasaribuan (28), karyawan Bank BRI di Jalan Jenderal Sudirman Jakarta, rela berpanas-panasan menunggu kedua pemimpin baru itu tiba di hadapannya.

"Memang ada arahan sih dari kantor, tapi kami juga ingin lihat presiden baru. Saya berharap mereka membawa Indonesia ke arah yang lebih baik," kata Dior.

Nona Tarigan (50), malah datang berjauh-jauh dari dari Tanah Karo, Sumatera Utara. Ibu ini datang dengan satu tujuan ke Jakara, melihat Jokowi!

"Saya jalan dari Semanggi sampai kemari (Sarinah) demi melihat Pak Jokowi, dulu Pak Jokowi kampanye pernah ke sana, sekarang giliran saya," kata ibu berpakaian serba putih itu.

Revolusi mental

Semua tampaknya eforia, sampai rela mengawal dan mengantarkan Sang Presiden dan Sang Wakil Presiden ke gerbang Istana Kepresidenan di J. Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat.

Tetapi, ada yang bersiasat demi diri sendiri dari eforia itu, karena rupanya di tengah kumpulan massa yang sedang menyambut kedatangan Jokowi-JK, pencopet-pencopet merajalela di kerumunan-kerumunan manusia seperti di seberang Hotel Grand Hyatt.

Beruntung, polisi cepat tanggap. Para pencopet itu segera dicucuk, untuk langsung digelandang ke pos polisi di sebelah timur Bundaran HI.

Sebenarnya pihak keamanan sendiri sudah memperkirakan kriminalitas semacam itu bisa muncul ketika orang-orang berkerumun dalam jumlah besar.

Tetapi, itu tidak pernah bisa mencoret semangat positif masyarakat dalam mengikuti perhelatan langka yang bagi sebagian orang dianggap tidak perlu itu. Dari peristiwa sebesar ini bahkan bisa muncul inspirasi-inspirasi, bahkan keteladanan, seperti ditunjukkan sejumlah anak muda berbekal kantong keresek hijau yang cekatan memunguti sampah yang ditinggalkan para penonton sepanjang arakan.

Sejumlah anak muda tersebut mengklaim revolusi mental yang menjadi jargon Joko Widodo - Jusuf Kalla selama masa kampanye diejawantahkan melalui hal terkecil seperti memungut sampah.

Pasukan pemungut sampah ini dengan sukarela memunguti sampah sebagai wujud dari revolusi mental yang sering didengung-dengungkan Joko Widodo.

"Revolusi mental harus dimulai dari diri sendiri, contohnya ya memungut sampah ini, pungut sendiri sampah dan buang di tempatnya, kalau hal ini dilakukan seluruh rakyat Indonesia, maka bayangkanlah kontribusi yang disumbangkan bagi negara," kata Egi, salah seorang dari relawan pasukan pemungut sampah.

Pesta rakyat tak hanya berlangsung di sepanjang Sudirman-Thamrin, namun juga di Monumen Nasional atau Monas.

Di Monas ini, meski hari ini bukanlah hari libur, ribuan warga ramai memadati Lapangan Monas.

Mereka menggelar tikar-tikar plastik dan berpiknik di bawah pohon meski angin kencang musin kemarau menerbangkan debu-debu ke wajah mereka.

Sementara di panggung utama, hingar bingar musik terdengar di antara orasi pembawa acara yang menggelora.

Jokowi akan menyempatkan diri ke Monas untuk menyapa rakyat dan berdoa bersama malam ini.


Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2014