Surabaya (ANTARA News) - Terdakwa "teroris" Ahmad Arif Hermansyah alias Banjar (27) dari Jalan Tuwowo Rejo V, Kenjeran, Surabaya, Jatim, Kamis, dituntut hukuman lima tahun penjara dipotong masa tahanan dalam sidang di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya. Dalam sidang yang dipimpin ketua majelis hakim, M Yunus Wahab SH, jaksa Effendi SH mengemukakan terdakwa terbukti melanggar pasal 13 huruf c Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) I/2002 dan pasal 15 Perpu I/2002 yang diundangkan menjadi UU 15/2003 tentang pemberantasan terorisme. "Terdakwa telah terbukti dengan sengaja membantu tindak pidana terorisme dan menyembunyikan informasi tentang tindak pidana terorisme sebagaimana diatur dalam UU 15/2003," ujarnya. Menurut dia, terdakwa yang mendapatkan titipan dari rekannya berupa sebuah paket kardus berukuran besar, tidak mempertanyakan isi kardus dan hanya puas mendapat jawaban dari rekannya bahwa titipan itu merupakan amanah yang harus dijaga. "Terdakwa seharusnya mempertanyakan isi kardus titipan itu dan melaporkan isinya kepada aparat kepolisian," ungkapnya, dalam sidang yang juga disaksikan isteri terdakwa, Novi Herawati, tersebut. Atas tindakan terdakwa itu, katanya, pihaknya menuntut terdakwa dengan lima tahun penjara dengan dipotong masa tahanan serta membayar biaya perkara sebesar Rp1.000. "Hal yang memberatkan terdakwa adalah tindakannya meresahkan masyarakat, merugikan orang lain, dan membuat nama baik negara jatuh di mata internasional," kilahnya. Hal yang meringankan terdakwa, adalah terdakwa belum pernah dihukum, terdakwa sopan dan menyesali perbuatannya, dan terdakwa memiliki keluarga. Usai pembacaan tuntutan, ketua majelis hakim menunda persidangan hingga 21 Nopember untuk memberi kesempatan kepada kuasa hukum terdakwa dari Tim Pembela Muslim (TPM) Jatim menyusun pledoi. Ketika dikonfirmasi di luar persidangan, kuasa hukum terdakwa dari TPM, Fahmi H Bachmid SH MHum, menilai JPU (jaksa penuntut umum) terlihat bingung dalam tuntutannya. "JPU kelihatannya bingung, karena dia tidak berhasil membuktikan bahwa terdakwa benar-benar tahu isi kardus yang dititipkan seorang rekan kepadanya. Karena itu, JPU akhirnya mengalihkan tuntutan dari masalah kardus kepada tindakan menyembunyikan informasi," tegasnya. Ia menyatakan JPU seharusnya tidak boleh asal menuntut tanpa mampu membuktikan dakwaannya, apalagi dengan mengalihkan ke masalah lain. "Kalau begitu caranya akan banyak orang yang dipenjara, karena tidak tahu apa-apa," ucapnya. ANTARA mencatat, Arif Hermansyah disidangkan dengan delapan saksi, yakni Sonhadi alias Muhajir (orang yang mengambil barang titipan Untung di rumah terdakwa) dan Achmad Hasan alias Agung Cahyana alias Purnomo (terpidana mati dalam tindak kejahatan terorisme dan pernah mengenalkan Noordin Mohd Top dengan Munfiatun yang akhirnya menjadi isterinya), namun kesaksian Achmad Hasan bersifat tertulis dan dibacakan JPU. Saksi lainnya adalah Basir Umar (teman terdakwa yang disidang di PN Malang), Arif Firmansyah (adik terdakwa), Novi Herawati (25, isteri terdakwa), Aisyah Ahmad Basilin (53, ibu terdakwa), Fahim alias Usman (pimpinan Yayasan Darussalam dengan kesaksian tertulis), dan Ismail (rekan terdakwa sesama dai dengan kesaksian tertulis). Arif Hermansyah mulai disidangkan pada 5 September 2006 dengan didakwa terlibat pengeboman Kedubes Australia di Kuningan, Jakarta pada 2004, dan juga dituduh terlibat dalam kepengurusan JI yakni Fiah (JI tingkat kelurahan) Sidotopo, Surabaya pada tahun 1997. (*)

Copyright © ANTARA 2006