Jakarta (ANTARA News) - Peneliti ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Maxensius Tri Sambodo, mengatakan penurunan suku bunga BI menjadi 10,25 belum cukup medorong perkembangan perekonomian di sektor riil. "Sektor riil untuk manufaktur padat karya, seperti yang kita ketahui masih tertatih-tatih. (Untuk membangkitkannya) Belum cukup hanya dengan penurunan suku bunga BI," katanya di Jakarta, Rabu. Ia mengatakan sejak terjadi krisis ekonomi, pertumbuhan ekonomi nasional masih jauh dari harapan. Penurunan suku bunga bisa memberikan insentif kepada pengusaha, salah satunya yang diuntungkan yakni di bidang properti. Namun, ia mengatakan suku bunga BI bukanlah satu-satunya hal yang mendorong perkembangan dunia usaha di Indonesia. "Pada lingkup yang lebih luas, masalah yang dihadapi adalah kepastian hukum di antaranya mengenai perpajakan, pertanahan yang masih tumpang tindih dan masalah tenaga kerja," katanya. Ia juga mengatakan pemerintah harus memiliki hal fundamental untuk mengubah industri nasional. Upaya yang harus dilakukan yaitu penetapan strategi yang jelas. "Strateginya adalah bagaimana industri nasional kita ke depan. Pemerintah memang telah menetapkan agroindustri, tetapi langkah-langkah yang diambil juga belum jelas," katanya. Selain itu, menurutnya, persaingan dan iklim investasi mempengaruhi perkembangan perekonomian. "Persaingan juga mempengaruhi perilaku investor. Upah tenaga kerja kita masih lebih besar dibandingkan dengan kinerja sehingga daya saing kita lemah," katanya. Mengenai kesempatan ekspansi usaha, Maxensius mengatakan bergantung pada sumber pendanaan dari usaha yang ingin melakukan ekspansi. Bila sumber dana berasal dari perbankan maka ekspansi dapat saja dilakukan, katanya. Sejak Juni hingga November 2006, suku bunga BI terus menurun dan tingkat inflasi masih terkontrol, namun kebijakan bank untuk menetapkan suku bunga kredit tidak dapat segera dilakukan. Suku bunga bank ideal untuk memajukan dunia usaha, kata Maxensius, tergantung dari masing-masing usaha karena tiap usaha memiliki "internal return" yang berbeda. "Idealnya, sedapat mungkin tidak jauh berbeda dari laju inflasi yaitu sekitar 10 persen, karena laju inflasi yaitu sekitar 7 persen," katanya. Sedangkan dampak penurunan BI rate terhadap hubungan perdagangan luar negeri tidak akan terlalu besar, kata Maxensius. "Bagaimana transmisi BI rate terhadap nilai tukar. Kalau rupiah mengalami apresiasi maka ekspor kurang kompetitif," katanya. Sebelumnya, Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia (BI) memutuskan untuk menurunkan suku bunga BI (BI Rate) sekitar 50 basis poin (bps) dari 10,75 persen menjadi 10,25 persen. Direktur Direktorat Perencanan Strategis dan Humas BI, Budi Mulia mengatakan penurunan ini diputuskan setelah melihat perbaikan ekonomi yang terus terjadi dan stabilitas makro ekonomi yang terjaga. "Ini penurunan suku bunga BI yang keenam kali dari posisi 12,50 persen," katanya di Jakarta, Selasa (7/11) Budi Mulia menyebutkan indikator awal makro ekonomi triwulan keempat 2006 mengindikasikan pertumbuhan ekonomi masih akan meningkat yang didorong oleh terus meningkatnya net ekspor dan konsumsi. (*)

Copyright © ANTARA 2006