Jakarta (ANTARA News) - Siapa yang tak tergiur oleh tawaran PT. Wahana Bersama Globalindo (WBG). Perusahaan yang mendaku pengelola investasi ini menawarkan bunga investasi dolar 2 persen per bulan atau 24 persen per tahun.

Orang pun ramai memburunya, apalagi masa belakangan ini terlalu sulit untuk mendapatkan return besar dengan bayangin risiko kecil karena bisnis dan ekonomi yang bertumbuh seperti sekarang ternyata dalam satu sisi makin meningkatkan risiko ekonomi, termasuk dalam soal investasi.

Di antara orang yang tergiur itu adalah Joediantoro (47). Dibelilah oleh dia satu paket investasi 5.000 dolar AS.

Enam bulan pertama dia puas oleh untung yang lumayan besar, dan dia jatuh percaya pada pola investasi ini sehingga dia pun seperti ketagihan membenamkan lagi dananya dengan jumlah yang lebih besar dalam kurun dua tahun setelah investasi yang pertama.

"Pertama saya coba beli satu dulu, paket yang 5.000 dolar, jalan enam bulan untungnya kok lumayan, saya mulai beli satu paket lagi, sampai total empat paket senilai 20.000 dolar," kata pria yang memulai berbisnis di
Makassar ini kepada ANTARA News melalui telepon baru-baru ini.

Joediantoro yang belakangan mengaku buta masalah pengelolaan investasi oleh lembaga keuangan non bank ini rupanya tak cukup jeli menelusuri latar belakang WBG, termasuk surat ijin usahanya.

Waktu itu semua dianggapnya sudah jelas dan tak menyisakan satu pun keraguan.

Ia semakin yakin saat mengetahui perusahaan ini tidak hanya memiliki beberapa cabang di Bandung, Surabaya, Semarang, Yogya, Bali, Medan, dan Makassar, namun juga jaringan internasional yang menjadi agen penjualan investasi portofolio dari Dressel di Meksiko.

Memasuki tahun ketiga, dari akhir 2006 hingga 2007, Joediantoro mulai mencium ada yang tidak beres dengan lembaga investasi ini.

"Ada penundaan pembayaran keuntungan, yang tadinya selalu dibayar pada tanggal 7 misalnya, sekitar seminggu kemudian baru dibayarkan. Ini berlangsung sekitar tiga bulan ingga akhirnya keuntungan sama sekali tidak dibayar dan uang saya benar-benar tidak kembali," kenangnya kepada Antara News.

Belakangan media massa luas memberitakan WBG pada awal 2008, antara lain bahwa Krisno Abiyanto Soekarno mengaku bisnisnya dilakukan tanpa izin dari Bank Indonesia.

Dia hanya mengantongi Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP), Tanda Daftar Perusahaan (TDP) dari Kantor Perdagangan dan Perindustrian DKI Jakarta, serta Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dari Kantor Pajak.

Sebelum itu pada Maret 2007 media massa mewartakan ratusan nasabah cabang Surabaya telah melaporkan Dirut WBG Kisno Arbiyanto dan kepala cabang WBG Surabaya Zubaidi dengan tudingan menipu dan menggelapkan dana mereka, kepada polisi.

OJK siap bertindak

Joediantoro dan WBG bukan satu-satunya kasus yang semestinya masyarakat awas pada keamanan modalnya, karena berdasarkan catatan ANTARA, kasus serupa dengan kedok investasi sudah terjadi sejak lama dan merebak di mana-mana, antara lain kasus yang melibatkan PT Pomas, PT Lexin Group, Pomas, dan kasus terbaru dengan modus mirip.

Sebenarnya semua ketidaknyamanan dan ketidakamanan itu tak perlu terjadi jika masyarakat, terutama orang-orang seperti Joediantoro, mengikuti rekomendasi Otoritas Jasa Keuangan atau OJK sola investasi aman dan bagaimana memilih lembaga yang amanah dalam mengelola modal masyarakat. Salah satunya, jangan cepat terbuai.

"Kalau penawaran terlalu indah untuk menjadi kenyataan, segera hindari. Contoh kalau ada yang orang yang mengiming-imingi investasi uang dalam tiga bulan bisa memberi keuntungan melebihi deposito bank," kata Wakil Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Rahmat Waluyanto beberapa waktu lalu seperti dikutip ANTARA.

Dalam kerangka ini pula OJK gencar mengedukasi masyarakat agar memiliki pengetahuan yang cukup soal investasi sehingga mereka memahami mana produk investasi yang baik dan legal, dan mana yang tidak memiliki keduanya.

OJK bahkan sudah sampai pada mengajak masyarakat untuk melihat atau mencermati penawaran-penawaran investasi dari pihak ketiga yang diumumkan di media yang sering dipercantik oleh janji-janji yang jika ditelusuri lebih dalam adalah tidak masuk akal.

Tidak hanya itu, OJK merasa perlu mengajak konsumen untuk segera melaporkan ketidaklaziman skema dan status investasi kepada OJK. Dan niscaya, lembaga baru ini akan segera menindaklanjutinya.

Tanggapan publik pada OJK sendiri luar biasa. Faktanya, sejak didirikan, OJK sudah banyak menerima laporan dan aduan dari masyarakat.

"Selama periode Januari hingga 9 Juni 2014 saja ada 8.000 permintaan layanan kepada OJK, sebanyak 1.078 berupa pengaduan," kata Direktur Pengembangan Perlindungan Konsumen OJK Anto Prabowo beberapa waktu lalu seperti dikutip ANTARA.

Tapi OJK tidak berhenti pada sekadar mencatat aduan. Langkah tegas akan ditempuh lembaga ini jika aduan masyarakat memang membutuhkan tindakan keras terhadap pihak yang dikeluhkan masyarakat.

OJK siap untuk tegas karena seperti tertulis dalam laman resminya, lembaga ini berfungsi mengatur dan mengawasi keseluruhan kegiatan di sektor jasa keuangan, bahkan berwenang mencabut ijin usaha lembaga keuangan non bank yang terbukti "nakal".

Itu jelas ditegaskan Pasal 55 ayat (1) Undang-undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.

OJK sendiri sudah bertindak lebih jauh ketimbang sekadar mengancam.

Dari catatan ANTARA News, beberapa lembaga telah dicabut izin usahanya oleh OJK, seperti terjadi pada PT. Paladin Internasional sejak akhir Desember 2013 dan perusahaan pembiayaan PT Cahyagold Prasetya Finance pada 22 Juli 2014.

Intinya pesan terbesar OJK adalah masyarakat harus berhati-hati memilih lembaga keuangan yang bisa dipercaya, legal dan berintegritas tinggi.

Sebaliknya, siapa pun mesti berhati-hati untuk tidak gampang mengiming-imingi masyarakat dengan janji "tidak masuk akal", karena kalau tidak OJK siap bertindak.

Tentu saja semua ini tak diunjukkan untuk mengancam dan membatasi kesempatan bisnis masyarakat.

Ini semata demi mewujudkan industri jasa keuangan yang bertanggung jawab dan terpercaya yang akan menjadi pilar perekonomian nasional sehingga berdaya saing global dan dapat memajukan kesejahteraan umum.


Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2014