Bengkulu (ANTARA News) - Penetapan Indonesia sebagai negara yang beresiko tinggi teroriris oleh Amerika Serikat sarat dengan kepentingan politis. "Banyak kepentingan di situ, khususnya Amerika Serikat ingin agar Indonesia tetap 'kecil' dan dikucilkan," kata anggota DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejehtera, Ansyori Siregar di Bengkulu, Kamis. Tindakan untuk mengecilkan Indonesia sangat nyata di antaranya dengan "membunuh" berbagai industri besar nasional, seperti Industri Pesawat Terbang Nusantara/PT Dirgantara Indonesia (IPTN/DI) dan Texmaco. Kondisi perekonomian Indonesia saat ini juga terus distir oleh negara-negara maju di dunia, mereka ingin agar negara ini terus memiliki ketergantungan. "Semua tindakan itu semata-mata agar Indonesia dapat dikuasai," katanya. Letak Indonesia yang sangat strategis menjadi perhatian dari negara-negara besar seperti Amerika Serikat. Negara itu kemudian ingin menguasi Indonesia. Ia menjelaskan Indonesia merupakan negara yang menghubungkan Benua Asia dengan Australia dan sebagai lintas kontinental internasional. Lalu litas internasional banyak yang melewati perairan Indonesia, karena itulah Amerika Serikat berupaya mengamankan dan menguasai negara ini dengan berbagai cara. Ia juga menilai salah satu sebab AS memasukkan Indonesia dalam daftar negara berisiko tertinggi teroris karena sebagai negara berpenduduk Muslim terbanyak di dunia. "Bukan rahasia lagi, kalau mereka selalu mengkait-kaitkan Islam dengan terorisme, dan Indonesia sebagai negara berpenduduk Muslim terbanyak, maka kemudian ditetapkan sebagai risiko tinggi teroris," katanya. Padahal, sangat tidak adil dan tak pas jika Indonesia dikatakan rawan teroris, karena hingga saat ini tidak ada kejadian luar biasa yang dilakukan olah aksi terorisme. Anggota DPR asal daerah pemilihan Sumatera Utara itu juga mendukung aksi Kesatuan Pelaut Indonesia (KPI) yang menuntut agar Indonesia dikeluarkan dari dari daftar 25 negara yang berisiko tinggi ancaman teroris internasional. "Memang tidak seharusnya kita masuk dalam daftar itu," ujarnya. (*)

Copyright © ANTARA 2006