Jakarta (ANTARA News) - Adalah Hayanti binti Mujiono Minarjo, perempuan malang Indonesia yang harus menjadi korban dari nasib buruk bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Arab Saudi.
Kisah pilunya bukan yang istimewa dalam artinya yang pertama, justu peristiwa pahit jalan hidup Hayanti menambah panjang penderitaan warga negara Indonesia (WNI) yang mengadu peruntungan sebagai buruh migran (TKW).
Berasal dari Karawang, Jawa Barat, Hayanti menebar benih harapan ketika terbang ke Arab Saudi sekitar 7 tahun silam.
Ia bekerja di rumah majikan bernama Jaza’a Awadh Al Muthairy (60). Jaza'a adalah seorang janda yang mengidap depresi sejak ditinggal mati suaminya, Aed Jarot Al Unaezi.
Hampir setiap hari Hayanti mendapat penyiksaan fisik di luar batas-batas kemanusiaan oleh majikan dan anggota keluarganya.
Ia dipukul, ditendang, disiram air panas dan air keras. Pernah juga dipaksa minum clorox, sejenis cairan disinfektan pembersih lantai.
Rangkaian penyiksaan itu menimbulkan kerusakan permanen pada wajah dan sekujur tubuhnya, termasuk bagian vitalnya.
Hingga pada suatu hari di awal Januari 2014, sang majikan nan keji dan 4 anggota keluarganya mengajak Hayanti ke Mekkah dengan alasan untuk berobat.
Ternyata di Mekkah Hayanti ditelantarkan begitu saja di Masjidil Haram. Majikan cuma berpesan kepada Hayanti, apabila ada orang bertanya agar ia menjawab bahwa ia hanya ingin dipulangkan ke Indonesia.
Hayanti lalu dibekali uang sebesar 53.000 real Arab Saudi atau sekitar Rp170 juta (satu real = Rp3.200).
Hari-hari dilalui dengan terkatung-katung layaknya gelandangan di Masjidil Haram. Hayanti mendapat sumbangan makanan sehari-hari dan uang 900 real atau setara Rp2,8 juta dari para jamaah umroh yang iba melihatnya sampai akhirnya Kepolisian Sektor Masjidil Haram menangkap Hayanti dengan tuduhan mengemis.
Oleh polisi, ia kemudian diserahkan ke KJRI Jeddah untuk ditangani.
Lewat koordinasi antar dua Perwakilan RI, kasus Hayanti kemudian dilimpahkan ke KBRI Riyadh sejak 22 Juni 2014, mengingat lokasi tempat kerja dan majikan Hayanti yang berada di wilayah KBRI Riyadh.
Menindaklanjuti kasus Hayanti, Tim Perlindungan WNI KBRI Riyadh kemudian melaporkan kasus dan mengadukan tuntutan atas kasus ini ke Kepolisian Qoisumah. Sebagai hasilnya, pada tanggal 28 Agustus 2014, tim mendapat tawaran pengacara wakil majikan, Mubarak Al Mahan, untuk menghentikan tuntutan dengan sejumlah kompensasi (tanazul).
Tanazul adalah kompensasi atas kerugian fisik yang diderita korban. Proses hukum dapat diselesaikan dalam waktu yang relatif lebih cepat dan akan diupayakan pembayaran kompensasi oleh pihak majikan yang lebih besar jumlahnya.
Tim yang dipimpin Chairil Anhar Siregar, Sekretaris III Fungsi Protokol dan Konsuler KBRI Riyadh, menyatakan tanazul akan diterima dengan jumlah kompensasi yang sepadan dengan kerusakan fisik yang dialaminya saat ini serta hilangnya masa depan karena Hayanti diperkirakan akan menemui kesulitan mendapatkan pekerjaan di kemudian hari.
Setelah berkali-kali melakukan negosiasi nan alot, akhirnya pada 13 Oktober 2014 pihak majikan membayar sejumlah kompensasi yang cukup besar bagi Hayanti, yaitu sebesar 300.000 real Arab Saudi--Rp960 juta.
Jumlah tersebut tercatat sebagai capaian terbesar KBRI Riyadh untuk kompensasi bagi TKI korban penyiksaan tanpa melalui jalur hukum, demikian dikutip keterangan tertulis KBRI Riyadh yang diterima ANTARA, di Jakarta, Rabu.
"KBRI selanjutnya, akan memproses tanazul ke Kepolisian Qoisumah (berjarak sekitar 522 km dari Riyadh) dan mengambil uang Hayanti yang disimpan Kepolisian Sektor Masjidil Haram. KBRI Riyadh pun akan memproses pemulangan Hayanti dalam waktu dekat," demikian Chairil.
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2014