Jakarta (ANTARA News) - Pemerintahan Indonesia terlalu lunak dalam menyikapi vonis hukum gantung yang dijatuhkan pada Saddam Husain, padahal Indonesia masuk dalam Dewan Keamanan PBB. "Seharusnya Indonesia lebih bersikap kritis terhadap pengadilan Saddam karena adanya beberapa alasan. Pertama sikap dari PBB bahwa badan-badan PBB dengan tegas mengatakan peradilan Saddam tidak sesuai standar Hak Asasi Manusia (HAM)," kata Koordinator Kontras, Usmad Hamid, di Jakarta, Rabu. Tidak ada perlindungan, baik kepada ketiga pengacara Saddam ataupun terhadap saksi-saksi. Kedua, sejak awal badan-badan PBB menyatakan bahwa invasi pimpinan Amerika Serikat ke Irak adalah ilegal. "Karena itu, jika Indonesia lunak dalam mengkritisi vonis Saddam, maka bisa saja Indonesia dianggap membenarkan terhadap apa yang dilakukan oleh AS, invasi, dan juga peradilan yang tidak `fair` terhadap mantan Presiden Irak itu," ujarnya. Menurut Usman, meskipun nanti Saddam telah meninggal dunia, kekuatan Irak tetap akan mengkhawatirkan AS, karena masih banyak masyarakat Irak dan kelompok-kelompok yang menjadi korban melakukan protes. Putusan hukuman mati gantung kepada bekas diktator Irak bersama dua pembantu dekatnya, Barzan Al-Tikriti saudara tirinya yang mantan Kepala Intelijen, dan Awad Al-Bandar mantan Hakim Agung, dijatuhkan Mahkamah Irak pada Minggu (5/11). Sedangkan lima lainnya dari tujuh orang pembantu dekat Saddam yang diadili secara bersamaan, dijatuhi vonis penjara seumur hidup, antara lain mantan Wapres Taha Yassin Ramadhan. Tiga lainnya divonis penjara 15 tahun dan seorang lagi dinyatakan tidak bersalah. Sebelumnya Pemerintah Indonesia melalui Jubir Departemen Luar Negeri, Desra Percaya, menyatakan bahwa putusan hukuman mati tersebut dapat dipahami dan bersifat belum final karena masih ada banding. Pemerintah Indonesia mengharapkan melalui proses itu, keadilan betul-betul lebih dapat ditegakkan. (*)

Copyright © ANTARA 2006