Sementara itu saat berada di Makkah, jamaah tidak mendapat makan sama sekali namun diberikan "living cost" atau biaya hidup sebesar 1.500 riyal, sekitar Rp4,8 juta, yang sudah termasuk untuk membayar dam satu ekor kambing dengan harga sekitar (350-450 riyal). Uang ini diberikan di Tanah Air menjelang kebarangkatan ke Tanah Suci.
Jamaah haji tinggal di Makkah paling lama yakni 23 hari sementara di Madinah sekitar 9 hari, dan lima hari di Armina. Walau "living cost" yang diberikan dinilai sudah cukup, namun jamaah harus pintar-pintar mengatur keuangan. Apalagi jika jamaah haji masuk dalam gelombang pertama yang ditempatkan terlebih dahulu di Madinah sebelum ditempatkan di Makkah, karena tak sadar banyak yang dibelanjakan saat di Madinah.
Hasbi dari kloter 1 embarkasi Pondok Gede menggambarkan bagaimana jamaah harus benar-benar menghemat agar bisa bertahan. Ia mengatakan, saat berada di Madinah selain membeli keperluan lain, banyak jamaah yang kurang pintar mengatur keuangan sehingga tidak sedikit uang dibelanjakan. Hal ini membuat ketika mereka berada di Makkah, harus benar-benar mengirit agar bisa makan. "Apalagi jika
jamaah uangnya pas-pasan," katanya.
Persoalan lainnya adalah harga makanan yang cukup mahal saat di Makkah, kata Hasbi sambil menceritakan harga-harga makanan di tempat yang telah disediakan.
Padahal, lanjut Hasbi, ketika di Makkah, jamaah harus benar-benar menjaga kondisi tubuhnya karena akan menghadapi wukuf di Arafah dan melempar jumrah di Mina yang menguras tenaga banyak sehingga memerlukan fisik yang prima. Hasbi mengatakan tidak sedikit jamaah yang hanya makan nasi dengan bakwan saja sebelum berangkat ke Arafah karena keuangannya menipis.
Untuk mengakali biaya hidup, jamaah sering harus memasak sendiri walaupun sebenarnya dilarang untuk memasak di dalam kamar. Namun, hal itu harus dilakukan agar bisa makan dengan harga terjangkau, katanya. Memasak di kamar juga banyak ditempuh jamaah lain terlihat dari seringnya mereka membeli bahan-bahan makanan di toko-toko.
Persoalan lain adalah saat ini banyak penginapan jamaah haji Indonesia yang letaknya jauh dari keramaian sehingga sulit untuk mencari penjual makanan. Selain itu, aparat keamanan Arab Saudi juga cukup ketat membersihkan pedagang-pedagang jalanan.
Kasus ini dialami Jamaah haji yang tergabung dalam kloter satu asal Embarkasi Banda Aceh, Provinsi Aceh. "Laporan petugas dari Mekkah, jamaah calon haji dari kloter satu kesulitan mendapatkan makanan," kata H Akhyar, Humas Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) Embarkasi Banda Aceh, di Banda Aceh pada beberapa minggu lalu sebelum pelaksanaan wukuf di Arafah (wukuf tanggal 3 Oktober).
Menurut H Akhyar, jamaah calon haji kloter satu kesulitan makanan karena tidak ada penjual makanan di sekitar maktab yang mereka tempati. Apalagi, maktab mereka jauh dari Masjidil Haram.
"Sebelumnya banyak pedagang makanan asal Indonesia berjualan di pinggir jalan di sekitar maktab atau penginapan jamaah calon haji kloter satu. Namun, karena adanya penertiban, pedagang makanan tersebut tidak berjualan lagi," katanya.
Tiga kali makan
Mengenai penyediaan makan bagi jamaah Indonesia di Makkah, sebenarnya sudah diusulkan oleh Komisi Pengawasan Haji Indonesia (KPHI) sejak tahun lalu. KPHI mengusulkan agar jamaah haji Indonesia selama tinggal di Makkah juga mendapat makan karena saat ini banyak penginapan yang tidak didukung tempat penjualan makanan yang terjangkau. "Dulu kami usul mendapat makan satu kali sehari, namun kini tiga kali sehari," kata Ketua KPHI, Slamet Effendy Yusuf.
Slamet Effendy Yusuf mengatakan saat ini banyak penginapan jamaah haji Indonesia jauh dari Masjidil Haram dan ada pula yang akan menyendiri. Hal ini menyebabkan jamaah haji kesulitan mendapatkan makanan sehari-hari karena jarang ditemui warung makan.
Berbeda pada saat penginapan masih banyak yang dekat dengan Masjidil Haram, karena banyak orang berjualan. Saat ini penginapan jamaah haji Indonesia makin menjauh karena sedang ada perluasan Masjidil Haram sehingga banyak penginapan yang dibongkar.
Slamet Effendy mengatakan di penginapan memang terkadang disediakan kafetaria namun harganya lumayan mahal sehingga bisa membebani jamaah walaupun sudah diberi "living cost" sebesar 1.500 riyal (yang berasal dari uang jamaah sendiri saat pembayaran ibadah haji). Kalaupun mendapat makanan yang murah maka nilai gizinya dipertanyakan.
Untuk itu, katanya, jika sebelumnya KPHI mengusulkan satu kali makan makan kini sebaiknya tiga kali makan.
Biaya makan untuk jamaah di Makkah bisa dihitung kembali dengan uang "living cost" yang diberikan kepada jamaah. Hasbi juga setuju jika jamaah tidak diberikan living cost namun dialihkan menjadi bentuk makan langsung.
Sebenarnya jamaah haji diberikan makan di Makkah sudah ada yang melakukannya. Sebagai contoh, seorang jamaah asal Malaysia mengatakan bahwa mereka diberi makan selama di Tanah Suci. Namun memang ada persoalan yakni terkadang makanan kurang cocok atau jamaah sedang sedang berada di luar dan agak jauh penginapan sehingga jamaah makan di luar dan makanan yang diberikan menjadi mubajir.
Menanggapi masalah itu Menteri Agama Lukman Hakim Syaifuddin yang juga Amirul Hajj (Ketua Misi Haji Indonesia), saat berada di Arab Saudi, mengatakan sangat memperhatikan wacana agar jamaah haji Indonesia mendapat makan selama di Makkah.
"Selama ini jamaah hanya mendapat makan di Madinah dan di Armina (Arafah, Muzdalifah, dan Mina). Sementara di Makkah belum," kata Lukman Hakim.
Lukman hakim mengatakan ia mendengar aspirasi agar di Makkah juga disediakan makan. "Namun persoalannya tidak sederhana," kata Menag.
Ia mengatakan jamaah cukup lama tinggal di Makkah yakni mencapai 22 hari,lebih lama dibanding di Madinah dan Armina.
Selain itu perlu juga dipikirkan mengenai menu, dan pembiayaannya. Lukman Hakim mengingatkan bahwa jumlah jamaah haji Indonesia cukup besar yakni 155.200 jamaah haji reguler tahun ini. "Tapi aspirasi perlu didengar," katanya.
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2014