Jakarta (ANTARA News) - Deklarasi Malino tahun 2001 merupakan titik awal untuk menciptakan perdamaian di Poso yang telah dilanda konflik horizontal sejak Desember 1998. Meski aksi-aksi teror pasca-deklarasi itu masih kerap terjadi, seperti penyerangan bersenjata, pemboman dan penembakan, intensitas maupun eskalasi kekerasan di Poso relatif bisa diturunkan. Dalam sepuluh butir Deklarasi Malino, penegakan hukum merupakan prioritas kedua, setelah penghentian konflik. Untuk mendukung penegakan hukum itu, butir ketiga perjanjian itu meminta aparat negara bertindak tegas dan adil untuk menjaga keamanan. Tapi, semangat Malino dinilai menurun belakangan ini, terutama di kalangan masyarakat bawah di Poso, seiring dengan meningkatnya aksi- aksi kekerasan. Konflik horizontal di Poso memang tidak lagi terjadi, namun aksi-aksi teror masih kerap terjadi. Menurut Wapres Jusuf Kalla, apa yang terjadi di Poso baru-baru ini bukanlah sebagai konflik, tapi aksi teror. Senada itu, Kapolri Jenderal Sutanto mengatakan, kondisi Poso saat ini harus dibedakan dengan kondisi dulu (sebelum Deklarasi Malino), karena sekarang tidak ada lagi konflik horizontal. Terlepas apakah kejadian di Poso dan Palu belakangan ini sebagai konflik atau aksi teror, masyarakat setempat sangat membutuhkan rasa aman agar mereka dapat menjalankan aktivitasnya sehari-hari dengan tenang. Sehubungan kerapnya terjadi aksi kekerasan di Sulteng belakangan ini, mantan Ketua MPR Amien Rais menilai pemerintah belum optimal menuntaskan masalah Poso. Senada itu, Sekjen PDIP Pramono Anung menilai pemerintah tidak menuntaskannya secara cepat, seperti menangkap para pelaku dan aktor intelektualnya. Ia bahkan menyebutkan menurunnya semangat Malino di kalangan masyarakat Poso juga berkontribusi atas meningkatnya aksi kekerasan belakangan ini. "Semangat Malino sudah mulai meluntur. Karena itu , pemerintah harus secepatnya menumbuhkannya lagi, terutama di kalangan masyarakat bawah di Poso," katanya. Konflik horizontal di Poso memang tidak sebesar konflik di Maluku, namun keamanan di Poso masih sulit diwujudkan hingga sekarang. Jika konflik Maluku berhasil diakhiri dengan meniru semangat Malino, dan kondisi keamanan di daerah itu relatif terjaga hingga sekarang, situasi Poso ternyata masih seringkali tidak kondusif. Menurut mantan Pangdam VII/Wirabuana Suaidi Marasabessy, ada sejumlah faktor yang mempersulit penyelesaian konflik Poso dibandingkan dengan Maluku. Faktor pertama adalah letak geografis Poso yang cukup terpencil, namun luas wilayahnya besar. Hal itu memungkinkan Poso dijadikan sebagai tempat transit dan menjadi pusat gerakan- gerakan radikal. Faktor kedua adalah wilayah Poso yang cukup jauh dari pusat pemerintahan pusat di Jakarta maupun pemerintahan provinsi di Palu. Sedangkan di Maluku, Ambon yang juga merupakan daerah konflik adalah sekaligus sebagai ibukota provinsi. Faktor ketiga adalah adanya pihak ketiga yang bermain di Poso yang melakukan penyusupan-penyusupan maupun indoktrinasi. Faktor keempat adalah sedikitnya tokoh berpengaruh kuat di Poso untuk membantu mengakhiri aksi kekerasan jika dibandingkan dengan jumlah tokoh di Maluku. Menurut Suaidi, pemerintah harus lebih sering berdialog dengan masyarakat, serta mendatangkan tokoh- tokoh dari luar Poso sebagai mediator dalam rangka mencari solusi penyelesaian aksi kekerasan di Poso. Selain itu, pemerintah juga harus responsif atas usulan- usulan yang disampaikan masyarakat Sulawesi Tengah. Misalnya, merespon usulan masyarakat setempat agar operasi intelijen ditingkatkan. Sehubungan memanasnya Palu dan Poso, pemerintah sebagaimana telah diterapkan di era pemerintahan sebelumnya, telah melakukan pertemuan antara tokoh- tokoh agama dan masyarakat di Poso. Misalnya, Jusuf Kalla ketika menjabat Menko Kesra dengan segera mengumpulkan para tokoh perdamaian Malino untuk memperkuat komitmen bersama melawan para perusuh ketika aksi kekerasan muncul lagi di Poso pasca-Deklarasi Malino. Pertemuan yang dilaksanakan di Poso pada Rabu (25/10) itu dihadiri Kepala BIN Syamsir Siregar, dan jajaran dari dari Kantor Menko Polhukam, Mabes TNI, dan Mabes Polri. Maksud pertemuan tertutup itu, sebagaimana disebutkan Pangdam VII/ Wirabuana, Mayjen Arif Budi Sampurno, adalah untuk menyerap aspirasi dari tokoh- tokoh agama/masyarakat untuk mencari solusi dalam rangka memelihara keamanan di daerah Poso. Hal yang mengemuka dalam pertemuan itu, katanya, di antaranya adalah adanya harapan agar kerjasama antara TNI-Polri dengan masyarakat dapat ditingkatkan. Menurut Pramono Anung, pemerintah harus juga memperbaiki hubungan antar masyarakat di Poso dengan melakukan harmonisasi, sehubungan terjadinya pengelompokan-pengelompokan masyarakat akibat kerusuhan. "Pemerintah harus sering menfasilitasi terjadinya dialog di kalangan masyarakat Poso, terutama di kalangan masyarakat bawah," katanya. Mengumpulkan para tokoh agama dan masyarakat untuk menyamakan persepsi dalam mengakhiri aksi kekerasan di Poso dipandang banyak kalangan sebagai efektif, selain meningkatkan penegakan keamanan dan hukum. Berkaitan itu, Amien Rais mengharapkan pemerintah untuk memberikan perhatian yang lebih besar dalam menyelesaikan konflik di Poso, termasuk lebih arif dalam mencari solusinya.(*)
Pewarta: Oleh Hisar Sitanggang
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2006