Indonesia berpeluang untuk menerima pindahan tersebut karena memiliki sumber daya paling mendukung, jika dibandingkan negara lainya di Asia.Jakarta (ANTARA News) - Pusat Transformasi Kebijakan Publik menuturkan Indonesia dinilai mampu menciptakan 21 juta lapangan kerja baru apabila tujuh persen manufaktur dari Tiongkok berpindah ke Indonesia.
"Tak ada yang lebih penting bagi Indonesia dalam waktu lima hingga 10 tahun ke depan selain menyediakan lapangan kerja bagi rakyat," kata Penasihat Senior Transformasi Bidang Kajian Ekonomi Jonathan Pincus, pada acara peluncuran buku "Double Digit Growth (DDG)", di Jakarta, Kamis.
Ia mengatakan setiap tahunnya di Indonesia muncul dua juta angkatan kerja baru.
Menurut dia, dengan rata-rata pertumbuhan ekonomi beberapa waktu terakhir berkisar lima hingga enam persen maka hanya 800 ribu angkatan kerja baru yang terserap dalam lapangan kerja. Sisanya yakni sebanyak 1,2 juta orang harus mengganggur atau bekerja di sektor informal dengan upah minim dan kualitas hidup rendah.
"Jika Pemerintahan Jokowi-JK gagal mengatasi masalah ini maka akan sangat bahaya," katanya.
Ia mengatakan, pertumbuhan ekonomi Indonesia selama masa kepemimpinan SBY-Boediono lebih banyak ditopang oleh lonjakan harga komoditas, terutama harga mineral tambang yang terjadi di pasar global.
"Sementara di sektor manufaktur padat karya, sejak tahun 1995 Indonesia tak pernah lagi tumbuh dengan pangsa pasar manufaktur global," kata dia.
Oleh karena itu, Pemerintah Jokowi-JK berpeluang menghadirkan pertumbuhan ekonomi dua digit atau di atas 10 persen. "Hal ini salah satunya adalah imbas dari penurunan ekonomi Tiongkok, negara yang mendominasi sektor manufaktur dunia beberapa dekade terakhir ini," katanya.
Upah buruh di Negeri Tirai Bambu itu, lanjutnya, semakin mahal dan ada peralihan tahap industrialisasi ke industri tak lagi padat karya.
"Indonesia berpeluang untuk menerima pindahan tersebut karena memiliki sumber daya paling mendukung, jika dibandingkan negara lainya di Asia," kata dia.
Ia juga menyarankan agar pemerintah menyiapkan infrastruktur yang memadai, menarik investasi swasta asing dengan memperbaiki perizinan dan memberantas korupsi serta mengurangi subsidi BBM untuk memperbesar investasi publik. (*)
"Jika Pemerintahan Jokowi-JK gagal mengatasi masalah ini maka akan sangat bahaya," katanya.
Ia mengatakan, pertumbuhan ekonomi Indonesia selama masa kepemimpinan SBY-Boediono lebih banyak ditopang oleh lonjakan harga komoditas, terutama harga mineral tambang yang terjadi di pasar global.
"Sementara di sektor manufaktur padat karya, sejak tahun 1995 Indonesia tak pernah lagi tumbuh dengan pangsa pasar manufaktur global," kata dia.
Oleh karena itu, Pemerintah Jokowi-JK berpeluang menghadirkan pertumbuhan ekonomi dua digit atau di atas 10 persen. "Hal ini salah satunya adalah imbas dari penurunan ekonomi Tiongkok, negara yang mendominasi sektor manufaktur dunia beberapa dekade terakhir ini," katanya.
Upah buruh di Negeri Tirai Bambu itu, lanjutnya, semakin mahal dan ada peralihan tahap industrialisasi ke industri tak lagi padat karya.
"Indonesia berpeluang untuk menerima pindahan tersebut karena memiliki sumber daya paling mendukung, jika dibandingkan negara lainya di Asia," kata dia.
Ia juga menyarankan agar pemerintah menyiapkan infrastruktur yang memadai, menarik investasi swasta asing dengan memperbaiki perizinan dan memberantas korupsi serta mengurangi subsidi BBM untuk memperbesar investasi publik. (*)
Pewarta: Ajat Sudrajat
Editor: Ella Syafputri
Copyright © ANTARA 2014