Menurut Sharif, ekonomi kelautan Indonesia masih memberikan peluang besar. Potensi ekonomi di sektor kelautan, baik yang berhubungan dengan sumberdaya alam dan jasa maritim nilainya diperkirakan mencapai 1,2 triliun dolar Amerika per tahun. Dengan potensi yang demikian besar, Indonesia memilik peluang menuju negara dengan perekonomian terbesar ketujuh di dunia pada tahun 2030. Penguasaan kemampuan inovasi dan teknologi dalam rangka meningkatkan daya saing menjadi modal utama dalam mewujudkannnya. “Oleh sebab itu pemerintah terus berkomitmen untuk memperkuat peran strategis sumber daya manusia melalui penguasaan kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi”, kata Sharif.
Berkenaan dengan hal itu, pemerintah Indonesia dalam hal ini Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) selama ini terus berupaya mendorong pertumbuhan ekonomi kelautan melalui program dan kebijakan yang cukup progresif. Program percepatan industrialisasi kelautan dan perikanan yang berbasis pada Blue Economy menjadi salah satu program yang diunggulkan. Dalam hal ini, implementasinya membutuhkan dukungan ilmu pengetahuan dan teknologi berupa cutting-edge innovations yang tidak hanya mampu memanfaatkan sumberdaya alam secara berkelajutan, akan tetapi yang lebih konkrit adalah berupa inovasi sistem produksi bersih tanpa limbah. “Oleh karena itu, Industrialisasi Kelautan dan Perikanan yang berbasis pada Blue Economy, juga membutuhkan sumberdaya manusia yang handal dan kompeten”, ujar Sharif.
KKP memandang penting berbagai upaya untuk meningkatkan kapasitas SDM berbasiskan teknologi dan dukungan riset untuk menjaga kesinambungan pengembangan model Blue Economy. Investasi di bidang pembangunan SDM berbasiskan teknologi bernilai sangat strategis dalam jangka panjang, karena dapat memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap kemajuan pembangunan industrialisasi kelautan dan perikanan. KKP pun telah menetapkan kebijakan dan arah strategi pengembangan SDM berbasis IPTEK yang ditandai dengan berbagai program dan kegiatan pengembangan SDM. Semisalnya di bidang pendidikan, yakni dengan meningkatkan akses masyarakat terhadap pendidikan berbasiskan pengetahuan dan teknologi. “Langkah itu ditempuh agar industrialisasi kelautan dan perikanan yang berbasis pada blue economy berjalan secara efektif dan efisien,” jelas Sharif.
Sementara itu, UU Kelautan yang telah disahkan pada 29 September lalu secara tegas mengamanatkan agar pengelolaan sumberdaya kelautan dilakukan dengan mengedepankan prinsip blue economy. Dengan adanya UU tersebut, pembangunan kelautan ke depan mendapat dasar hukum yang sangat kuat. Arah kebijakan pembangunan kelautan ke depan difokuskan melalui optimalisasi sektor kelautan sebagai mainstream pembangunan nasional. “Diharapkan, UU Kelautan ini dapat menjadi instrumen regulasi yang dapat mengakselerasi peningkatan investasi pada berbagai sektor kelautan, sehingga sektor kelautan mampu tumbuh menjadi leading sector”, kata Sharif.
Sedangkan menjelang Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015, Indonesia akan dihadapkan suatu dimensi persaingan ekonomi yang lebih dinamis baik regional maupun global. Maka untuk menjawab tantangan tersebut diperlukan sumber daya manusia unggul yang dapat bersaing di dunia global terutama dalam sektor kelautan dan perikanan. Keunggulan tersebut diarahkan untuk mengembangkan inovasi dan teknologi, memantapkan kedaulatan dan ketahanan pangan serta diharapkan dapat menciptakan lapangan pekerjaan. Dalam hal ini, inovasi dan teknologi memiliki peranan penting, terutama dalam meningkatkan daya saing produk perikanan di tingkat global. Sehingga dapat berkontribusi pada peningkatan daya saing bangsa ke depan. “Mengingat perannya yang begitu besar, maka IPTEK dan SDM sebagai katalisator pertumbuhan ekonomi kelautan dan perikanan harus terus diperkuat”, tutur Sharif.
Sharif juga berpesan, perguruan tinggi diharapkan mampu bersinergi untuk menghasilkan SDM kompeten melalui program yang bersifat akademik. Perannya sebagai center of excellence yang memiliki kepakaran dalam dunia penelitian dan pengembangan teknologi perlu menyambut baik tantangan ini. Kolaborasi dan integrasi antara dunia pendidikan atau penelitian, pemerintah dan swasta adalah menjadi kunci dalam menggerakan sektor kelautan dan perikanan sebagai pengarusutamaan pembangunan nasional. “Blue Economy harus mampu menjadi referensi sebagai model pendekatan pembangunan Kelautan dan Perikanan berkelanjutan untuk kesejahteraan rakyat”, tuturnya.
Perlu disampaikan bahwa capaian kinerja sektor perikanan telah berdampak pada peningkatan kesejahteraan. Hal ini dibuktikan dalam hasil Sensus Pertanian 2013, BPS menyebutkan bahwa pendapatan rumah tangga masyarakat yang berusaha di sektor perikanan lebih tinggi dibanding yang bergerak di sektor pertanian. Pendapatan rata-rata rumah tangga perikanan yang paling tinggi adalah pelaku usaha budaya ikan hias mencapai Rp 50,84 juta/tahun, usaha budidaya ikan perairan umum Rp 38,40 juta/tahun, budidaya ikan tambak/payau Rp 31,31 juta/tahun, serta budidaya ikan kolam air tawar Rp 29,30 juta/tahun. Sementara pendapatan rata-rata pelaku usaha perkebunan Rp 20,44 juta/tahun, hortikultura Rp 17,71 juta/tahun, peternakan Rp 14,56 juta/tahun, dan bahkan padi dan palawija hanya Rp 10,49 juta/tahun. Ini tentunya sebagai bukti, bahwa dibanding petani maupun peternak, pelaku usaha perikanan lebih sejahtera.
Untuk keterangan lebih lanjut, silakan menghubungi Lilly Aprilya Pregiwati, Kepala Pusat Data Statistik dan Informasi, Kementerian Kelautan dan Perikanan (Telp. 021-3520350)
Editor: PR Wire
Copyright © ANTARA 2014