Tanjung Selor (ANTARA News) - "Sekarang terbelakang, nanti terdepan". Kalimat itu terpampang melengkapi satu lukisan di wilayah perbatasan Kalimantan Utara (Kaltara) agaknya ingin menyentuh rasa kebangsaan, meskipun bukan sebuah pekik heroik.

Melengkapi kalimat itu tampak gambar tiga orang bocah bercelana pendek tanpa alas kaki yang berjingkat, seperti berlomba menggapai kain bendera Merah-Putih yang berkibar.

Di bagian atas lukisan tangan itu terdapat gambar setengah badan Pejabat Gubernur Kaltara Irianto Lambrie, yang berbaju resmi kepala daerah (baju dan topi putih) yang tersenyum melihat tiga anak tersebut.

Dari tema tulisan dan lukisan pada sebuah tembok di salah satu sudut kota perbatasan di Kabupaten Bulungan, Kaltara, dibuat untuk memperingati HUT RI 2014 beberapa waktu lalu.

HUT RI 2014 memiliki arti khusus bagi Provinsi Kaltara yang belum genap berusia dua tahun ikut dalam keramaian nasional sejak menjadi daerah otonom hasil pemekaran dari Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim).

Akhir Oktober 2012 Ibu Pertiwi melahirkan anak termudanya, yakni Kalimantan Utara, yang resmi menjadi provinsi ke-34.

DPR RI mengesahkan Provinsi Kalimantan Utara (Kaltara) pada 25 Oktober 2012 yang meliputi lima daerah, yakni Kabupaten Bulungan (Ibu Kota Provinsi Kaltara), Kota Tarakan, Kabupaten Malinau, Kabupaten Nunukan, dan Kabupaten Tana Tidung (KTT).

Pada 22 April 2013, akhirnya Kaltara memiliki pemimpin --meskipun belum definitif-- dengan ditunjuknya H. Irianto Lambrie, yang sebelumnya menjabat sebagai Sekretaris Provinsi Kaltim, menjadi Pejabat Gubernur Kaltara.

Berkat berbagai prestasinya dalam membangun Kaltara, maka pemerintah melalui Keputusan Presiden (Keppres) RI nomor 29/P tahun 2014 tertanggal 14 April 2014, kembali memberikan amanah kepada Irianto Lambrie sebagai Penjabat Gubernur Kaltara.

Keppres itu diserahkan Direktur Jenderal Otonomi Daerah (Dirjen Otda) Djohermansyah Djohan atas nama Presiden RI dan Menteri Dalam Negeri di Kantor Kementerian Dalam Negeri di Jakarta, April 2014.

Sebagai provinsi baru, Kaltara cukup tertinggal ketimbang induknya, Provinsi Kaltim.

Salah satu alasan untuk pemekaran wilayah pun akibat disparitas pembangunan antara wilayah utara dengan wilayah selatan dan tengah (Kota Bontang, Kota Samarinda, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kota Samarinda dan Kota Balikpapan).

Banyak orang meragukan jika Kaltara mampu mengejar ketertinggalannya, terutama jika disejajarkan dengan kondisi kakak kandungnya (Kalimantan Timur).

Kaltara memang punya potensi Migas, batu bara, emas, dan berbagai potensi alam layaknya di Kaltim, namun keterbatasan infrastruktur membuat pemanfaatannya juga relatif tertinggal ketimbang kegiatan ekploitasi di Bontang, Kutai Kartanegara. Samarinda dan Balikpapan.

Dari sisi infrastruktur, Kaltara jauh tertinggal, khususnya pada sektor perhubungan darat, udara dan laut ketimbang Kalimantan Timur sehingga banyak yang pesimistis jika provinsi termuda itu mampu mengejar ketertinggalannya dalam waktu singkat.

Namun, Kaltara sangat optimistis karena aparat pemerintahannya mampu menangkap peluang emas, antara lain melakukan kerja sama dengan berbagai pihak, serta membuka diri sebesar-besarnya bagi para penanam modal.

Pada akhirnya Kaltara berhasil menarik investor Tiongkok untuk menanamkan modalnya di sana.

Dari sejumlah investasi asing itu, yang paling strategis dan bisa menjadi pilar perekonomian bukan hanya untuk Kalimantan Utara tetapi nasional adalah pengembangan pembangkit listrik tenaga air (PLTA) kapasitas 6.080 MW dengan investasi Rp175 triliun selama 30 tahun.

Dengan kapasitas itu, maka Kaltara akan tercatat sebagai penghasil PLTA terbesar nasional.

Awal tahun ini, kegiatan secara resmi dilakukan oleh Wamen ESDM RI Susilo Siswoutomo disaksikan antara lain Panglima TNI Jendral Moeldoko, Kepala BKPM RI Mahendra, Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak dan Pj Gubernur Kaltara Irianto Lambrie.

Peresmian ditandai dengan peletakan batu pertama pada Tugu Pembangunan PLTA Kayan.

Dengan kapasitas sebesar itu. maka bukan hanya mampu melayani wilayah Kaltara namun juga provinsi lain seperti Kaltim karena kebutuhan tiga daerah terpadat di Kalimantan Timur (Kutai Kartanegara, Samarinda dan Balikpapan) hanya 300 MW.

"Ke depan, jika PLTA itu sudah bisa beroperasi secara penuh maka sasarannya memang bukan hanya provinsi di Indonesia akan tetapi negara tetangga, yakni Malaysia," kata Pj Gubernur Kaltara Irianto Lambrie.

Jika pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Kayan Kecamatan Peso, Bulungan, Kalimantan Utara (Kaltara) 6.080 MW tuntas dan mulai beroperasi. maka dapat mempengaruhi kebijakan pemerintah mengatasi krisis energi nasional.

"Pasalnya, selama ini tidak diperkirakan bahwa dalam mengatasi masalah energi nasional bisa terpecahkan melalui PLTA. Sebelumnya, pemerintah hanya sebatas pada solusi sumber energi konvensional, misalnya melalui Migas dan uap (batu bara)," kata Kepala Biro Ekonomi dan Pembangunan Pemprov Kaltara Risdianto.

Alasan untuk menjual listrik itu, dinilainya, menjadi faktor utama sehingga investor dari Negeri Tirai Bambu itu tidak ragu menginvestasikan dananya untuk membendung sungai terbesar di Kalimantan Utara itu.

Selain Sungai Mahakam (Kaltim) dan Sungai Barito (Kalsel), maka Sungai Kayan adalah salah satu sungai terbesar di Borneo dengan panjang sekitar 460 km dengan lebar 200-300 meter.

"Persoalannya, selama ini pemerintah pusat dan BUMN terkait energi masih berkutat dengan kebijakan mengatasi masalah krisis energi dengan sumber-sumber yang konvensional, jadi jika PLTA ini mulai beroperasi maka rencana besar mengatasi masalah kelistrikan akan berubah," paparnya.

Pemprov Kaltara, ujar Risdiant, berhasil menggaet investor asing melalui PT Hidro City Kalimantan untuk membangun pembangkit listrik air terbesar di Indonesia dengan nilai investasi sekitar 25 Miliar Dolar AS.

Sementara itu, Pj Gubernur Kaltara Irianto Lambrie menilai perlu sebuah perencanaan strategis yang komprehensif mengantisipasi "booming" sumber energi itu.

Ketersediaan sumber energi akan menjadi magnit untuk menarik sektor perdagangan dan industri ke Kaltara.

Ia menyatakan, berbagai proses perizinan (pembebasan lahan, izin lokasi dan analisis dampak lingkungan sebagian sudah tuntas) sehingga diharapkan dalam waktu dekat akan memasuki tahap kegiatan pembangunan konstruksi.

Pemprov Kaltara dalam mendukung investasi asing tersebut membentuk Tim Percepatan Izin PLTA.

Sekiranya tidak ada hambatan yang berarti, maka dalam beberapa tahun mendatang, mulai dari tahap 10 tahun pertama, kedua dan ketiga maka Kalimantan Utara mampu mengatasi salah satu persoalan paling krusial di tanah air, yakni krisis sumber energi kelistrikan.

Keberhasilan itu sangat vital karena bisa mengatasi ketergantungan nasional yang sangat tinggi terhadap sumber daya yang tidak bisa diperbaharui, yakni migas dan batu bara.

Geliat itu kini kian terasa, tinggal bagaimana semua pihak bisa menjaga agar terbangunnya "raksasa" Kaltara itu dari tidur panjang tak terganggu oleh masalah-masalah klasik yang sering merusak dunia investasi, antara lain buruknya birokrasi (perebutan kewenangan pusat-daerah), suasana politik yang berimbas ke iklim investasi, serta masalah keamanan (aksi demo menuntut ganti rugi). (*)

Oleh Iskandar Zulkarnaen
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2014