Makkah (ANTARA News) - Walaupun tinggal di Arab Saudi, pendatang maupun penduduk asli, tidaklah mudah untuk menunaikan ibadah haji setiap tahun karena mereka harus pula mempunyai izin khusus atau tasrih untuk melaksanakan ibadah haji.
Untuk mencegah masuknya jamaah haji tidak resmi, pemerinah Arab Saudi menempatkan pos penjagaan atau check point di setiap jalan utama menuju Makkah. Jika ditemui ada jamaah calon haji tidak resmi maka mereka dihentikan.
Menjelang pelaksanaan wukuf, media setempat menyebutkan hampir 100.000 jamaah calon haji yang ditolak masuk Makkah. Dubes Indonesia untuk Arab Saudi AM Fachir mengatakan pemerintah Arab Saudi juga memiliki kuota penduduk yang boleh berhaji.
Dubes mengatakan menjelang pintu masuk kota Makkah telah dijaga oleh aparat keamanan setempat sehingga jika ada orang yang menggunakan baju ihram maka akan dilihat izinnya. Masyarakat luar Makkah yang ingin melaksanakan umrah wajib harus menggunakan kain ihram di titik-titik tertentu sebelum memasuki kota Makkah.
Namun, katanya, jika yang masuk kota Makkah bukan untuk tujuan ibadah maka tetap diizinkan. "Sejauh tidak ibadah tidak apa-apa. Tapi begitu masuk pakai baju ihram maka akan diperiksa izinnya," katanya.
Namun tetap saja ada celah bagi penduduk atau mukimin (warga negara Indonesia yang sudah berdiam di Arab Saudi). Salah satunya adalah Aisyah (34), asal Madura, Jawa Timur, yang telah enam kali naik haji selama 15 tahun bekerja di Arab Saudi, atau Eman Khorman (35) yang berhaji dengan cara berpetualang.
Aisyah yang ditemui saat sedang mabit atau bermalam di Mina (salah satu wajib haji) mengatakan bahwa mukimin yang ingin berhaji harus mempunyai cara-cara khusus. Tahun ini, tidak tanggung-tanggung, rombongan yang bersama Aisyah mencapai 60 orang yang sebagian besar adalan keluarganya yang tinggal di Makkah. Harap maklum komunitas Madura memang cukup banyak bekerja di Arab Saudi.
Aisyah saat ini sedang bekerja di Jeddah, sekitar satu jam perjalanan darat ke Makkah. "Kalau kita tidak punya tasrih maka tidak boleh masuk Makkah," katanya.
Ia pun lalu bercerita. Untuk mengakalinya, ia melaksanakan haji tamattu yakni melaksanakan umroh wajib dahulu baru berhaji. Pertama ia berangkat umroh wajib pada saat bulan Ramadhan karena pada waktu itu pemeriksaan belum ketat. "Kalau mendekati wukuf sangat ketat," kata ibu satu anak yang suaminya bekerja di Makkah.
Setelah itu ia kembali bekerja ke Jeddah. Nah pada saat mendekati wukuf di Arafah, dia lalu membayar kepada agen yang merupakan warga setempat sebesar 1.000 riyal (sekitar Rp3,2 juta). "Itu paket penuh, saya dijemput ke Jeddah dan dikembalikan ke Jeddah. Juga dapat makan dan tenda (saat di Arafah), serta penginapan di Makkah. Jika tidak paket penuh maka banyarnya lebih murah," kata wanita yang sering tersenyum ini.
Ia mengatakan karena supir yang mengangkutnya dari Jeddah adalah orang Arab maka ia cukup mudah masuk ke Makkah. Tentu sebagai jamaah haji tidak resmi, dia tidak akan mendapat fasilitas sebagai haji resmi. Haji resmi harus membayar "general service fee" (biaya layanan umum) guna fasilitas jamaah di Arafah dan Mina, terutama tenda dan transportasi.
Mereka juga diantar ke Arafah. Namun selama di Padang Arafah saat melakukan wukuf, mereka tidak tinggal di tenda-tenda resmi namun mendirikan tenda sendiri yang dibangun oleh agennya. Agennya juga menyediakan makan selama di Arafah. Maklum saja karena di Arafah tidak ada penjualan makanan.
Usai melaksanakan wukuf, mereka kembali menggunakan kendaraan yang telah disediakan untuk melakukan perjalanan haji lainnya yakni mabit (bermalam) di Muzdalifah dan dilanjutkan perjalanan ke Mina pagi harinya.
Namun di Mina mereka tidak disediakan tenda. Untuk tidur, mereka hanya beralas tikar, sajadah atau karpet. Di sini juga tidak disediakan makan. Mereka harus membeli makan sendiri. Untungnya di Mina ada beberapa toko makanan atau restoran. Sambil menunggu tengah malam anggota rombongan ada yang mengaji, berdoa, tidur dan sekadar ngobrol.
Mereka hanya bermalam sampai tengah malam (melewati tengah malam), untuk selanjutnya berjalan kaki menuju penginapan mereka di Makkah yang kebetulan jaraknya tidak terlalu jauh atau sekitar 30 menit berjalan kaki. Untuk itu mereka tidur di dekat perbatasan Mina-Makkah agar tidak terlalu jauh dari penginapan.
Sore hari mereka lalu kembali ke Mina untuk melempar jumrah, dan dilanjutkan kembali dengan menginap sampai tengah malam. Kegiatan ini dilakukan selama dua hari, tutur Aisyah yang bekerja apa saja, mulai di rumah sakit, hotel dan lainnya.
Lain lagi yang dilakukan oleh Eman Khorman yang bekerja di Madinah yang menempuh waktu sekitar tujuh jam dari Makkah. Ia sudah bekerja selama enam tahun sebagai supir dan ingin berhaji untuk pertamakalinya sebelum pulang ke Tanah Air.
Karena gajinya yang kurang memadai maka ia berhaji dengan cara murah. Ia cukup membayar 500 riyal saja ke supir taksi Arab Saudi. Namun tentu perjalanannya cukup sulit.
Saat mendekati pos pemeriksaan, Eman bersama teman-temannya turun dari kendaraan. Petualangan pun dimulai. Sang supir langsung meneruskan perjalanan, sementara Eman dan kawan-kawannya jalan melalui gunung yang tentu tidak mudah. Setelah menempuh perjalanan sekitar empat kilometer, mereka bertemu kembali dengan supir taksi untuk meneruskan perjalanan. Dan pembayaran baru dilakukan setelah mendekati Masjidil Haram.
Namun hati-hati jika ditangkap maka resikonya dideportasi. Untuk memenuhi panggilan Ilahi, cara apapun memang sering dilakukan. (*)
Oleh Unggul Tri Ratomo
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2014