Jakarta (ANTARA News) - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono harus berani menjadikan pertemuan dengan Presiden Amerika Serikat (AS) George W Bush sebagai agenda renegosiasi (perjanjian ulang) kontrak karya perusahaan-perusahaan pertambangan AS di Indonesia untuk kepentingan umum. "Presiden Yudhoyono harus berani mendesak AS untuk melakukan renegosiasi (negosiasi ulang) kontrak karya perusahaan-perusahaan pertambangan AS di Indonesia yang saat ini masih merugikan negara kita dan tidak adil," kata Anggota Komisi I Sutradara Ginting seusai bertemu dengan jajaran Telkom Divisi Regional Jakarta, Senin. Menurut Ginting, kontrak karya yang lebih adil akan meningkatkan kesejahteraan rakyat sehingga dapat memerangi akar terorisme di Indonesia. "Sebab akar terorisme adalah kemiskinan dan juga ketidak adilan," katanya. Ia berpendapat kunjungan Presiden AS tersebut ke Indonesia hanya ingin mencari dukungan Indonesia setelah dirinya terjepit dalam perang melawan terorisme yang ia kobarkan saat ini. "Untuk itu sebagai negara yang menolak unilateralisme AS dalam melakukan invasi ke Irak, Indonesia memiliki posisi tawar yang tinggi saat ini," katanya. Namun dia mengingatkan Presiden Yudhoyono kunjungan yang terjadi saat ini harus tetap dalam koridor penolakan unilateralisme AS. Sementara itu Azzumardi Azzra mantan Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah mengatakan, pemerintah sebaiknya menjelaskan kepada publik hasil pertemuan tersebut sehingga publik tahu manfaatnya. Apalagi menurutnya suara-suara penentangan semakin lantang terdengar. "Jika pemerintah tidak terbuka demo-demo akan semakin marak dan bisa menjadi risiko politik yang tinggi bagi pemerintah saat ini," katanya. Dengan keterbukaan dan kejelasan akan hasil dari pertemuan tersebut menurut Azzumardi, meskipun demo-demo tetap marak namun setidaknya masyarakat tidak menduga-duga dan berprasangka yang tidak baik terhadap pemerintah. Sementara itu, Menlu Hassan Wirayuda menjelaskan pertemuan Presiden Yudhoyono dengan Presiden Bush tidak membicarakan masalah militer. Namun menurut Menlu pembicaraan kali ini mengedepankan hal-hal yang berkaitan dengan kerja sama di bidang yang dapat dikategorikan `soft power`, yaitu kerja sama yang saling menguntungkan di bidang perdagangan, investasi, juga kepentingan untuk mendorong pencapaian `milenium development goals`, pengentasan kemiskinan, pendidikan, kesehatan dan sebagainya.(*)
Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2006