Jakarta (ANTARA News) - Komisi Pemberantasan Korupsi menahan Bupati Tapanuli Tengah Bonaran Situmeang di rumah tahanan KPK di Detasemen Polisi Militer (Denpom) Guntur atas tuduhan tindak pidana korupsi berupa pemberian suap.
Bonaran diduga telah menyuap Akil Mochtar, yang ketika itu sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), terkait penanganan sengketa pemilihan kepala daerah (pilkada) Kabupaten Tapanuli Tengah.
"Yang bersangkutan ditahan 20 hari pertama di rumah tahanan Jakarta Timur kelas 1 cabang KPK di Denpom Guntur," kata Juru Bicara KPK Johan Budi di Jakarta, Senin.
Bonaran setelah diperiksa selama sekitar 7 jam memprotes penahanannya tersebut.
"Ini penzaliman, saya belum ditanya apa hubungan saya dengan Akil, kenapa saya ditahan? Saya tanya mana dua alat bukti permulaan itu, saya tanya, gak ada juga bukti itu," kata Bonaran saat keluar gedung KPK.
Ia mengaku bahwa tidak mengenal dan tidak menyuap Akil Mochtar.
"Saya tidak kenal dengan Akil Mochtar, saya tidak pernah menyuap Akil Mochtar, saya sudah tunjukkan ke rekening saya. Ada tidak rekening saya Rp1,8 miliar? Tidak punya saya uang," tegas Bonaran.
Bonaran menilai bahwa kasus yang menjerat dirinya dinilai politis karena saat ia digugat dalam sengketa pilkada Tapanuli Tengah, ia berhadapan dengan Dina Riana Samosir yang didampingi oleh kuasa hukum Bambang Widjojanto sebelum Bambang menjadi komisioner KPK.
"Di Pilkada Tapteng di MK lawan saya pengacaranya adalah Bambang Widjojanto yang sekarang jadi komisioner KPK. Waktu di MK dibilang Bonaran harus didiskualifikasi. Ini kan semut lawan gajah, saya semutnya dia gajahnya, ini gak bener. Dalam kasus suap saya selalu dikatakan katanya, katanya, katanya, di Tapteng itu namanya nina tu nina. Nina tu nina itu katanya, katanya, katanya. Gak pernah saya terbukti," ungkap Bonaran.
KPK menetapkan Bonaran sebagai tersangka sejak 19 Agustus 2014 sebagai hasil pengembangan dugaan suap di MK dengan terdakwa Akil Mochtar.
Bonaran disangka melanggar Pasal 6 ayat 1 huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengenai memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili dengan ancaman pidana maksimal 15 tahun penjara dan denda paling banyak Rp750 juta.
Dalam surat dakwaan Akil Mochtar, Akil disebut menerima Rp1,8 miliar dari Bonaran Situmeang.
Meski Bonaran berdasarkan hasil perhitungan suara KPU Tapanuli Tengah memenangkan pilkada, namun hasil itu didugat oleh dua pasangan lain di MK, sehingga MK memutuskan panel Achmad Sodikin sebagai ketua merangkap anggota, Harjono dan Ahmad Fadlil Sumadi sebagai anggota.
Saat perkara sedang berproses, Akil menelepon Bakhtiar Ahmad Sibarani untuk menyampaikan kepada Bonaran Situmeang agar menghubungi Akil terkait permohonan keberatan pilkada Tapanuli Tengah.
Akil kembali menghubungi Bakhtiar dan meminta Rp3 miliar kepada Bonaran yang dikim ke rekening CV Ratu Samgat dengan keterangan "angkutan batu bara".
Hasilnya pada 22 Juni 2011, permohonan keberatan ditolak MK seluruhnya sehingga Bonaran Situmeang dan Sukran Jamilan Tanjung tetap menjadi pasangan pemenang pilkada kabupaten Tapanuli Tengah.
Terkait kasus ini, KPK juga sudah menjerat sejumlah pihak yaitu Akil Mochtar yang sudah divonis seumur hidup, mantan bupati Gunung Mas Hambit Bintih divonis 4 tahun penjara, tim sukses Hambit, Cornelis Nalau Antun yang divonis 3 tahun, anggota Komisi II Chairun Nisa yang divonis 4 tahun penjara, pengacara Susi Tur Andayani divonis 5 tahun penjara, Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah divonis 5 tahun kurungan, adik Ratu Atut pengusaha Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan yang divonis 5 tahun penjara.
Selanjutnya pasangan calon bupati dan wakil Bupati Lebak Amir Hamzah dan Kasmin, tangan kanan Akil Muhtar Ependy, Wali Kota Palembang Romi Herton dan istrinya Masitoh juga menjadi tersangka kasus penyuapan Akil.
Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2014