Jakarta (ANTARA News) - Figur yang ahli dan memahami peraturan perundang-undangan tentang tanah terlantar dibutuhkan pada Kabinet Presiden terpilih Joko Widodo (Jokowi) di Kementerian Agraria agar salah satu problem pertanahan di Indonesia bisa diselesaikan dengan baik.
Presidium Barisan Revolusi Mental (Bararemen) Gideon Wijaya Ketaren mengemukakan hal tersebut dalam keterangan persnya di Jakarta, Sabtu.
Gideon mengatakan, pemerintahan Jokowi-JK kedepan akan kuat di hadapan rakyat jika mampu mengelola tanah telantar dan mengalokasikan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat sesuai amanat Pancasila dan UUD 1945.
"Menurut kami salah satu persoalan dalam tanah telantar adalah kurangnya kesungguhan dan kurangnya pemahaman jajaran pertanahan sebelum-sebelumnya terutama di daerah mengenai hukum yang mengatur tanah terlantar ini. Penegakan hukum tanah terlantar membutuhkan kebulatan tekad, ketegasan dan manajemen yang baik mulai dari pusat sampai daerah," ujarnya.
Gideon menegaskan, Indonesia semestinya belajar dari kesuksesan program "landreform" di berbagai negara yang menjalankan kesungguhan dan manajemen yang baik dalam mengelola tanah telantar dan menjalankan reforma agraria. "Kita bisa belajar dari keberhasilan Jepang, Taiwan, Vietnam dan China," ujarnya.
Menurut dia, negara-negara yang gagal dalam menjalankanprogram landreformnya banyak yang disebabkan karena kurangnya kesungguhan dan faktor politik serta ketakutan yang dibuat-buat oleh kaum pemilik pemodal.
"Petani kita menanti-nanti kebijakan ini. Jutaan sarjana pengangguran kita bisa kita serap untuk mewujudkan kedaulatan pangan dan energi kita. Kita juga dapat memulangkan TKI kita yang bekerja di LN terutama di perkebunan sawit Malaysia untuk menggarap lahan-lahan terlantar ini disamping tentunya masyarakat Adat tetap sebagai pihak yang harus diajak untuk maju dan sejahtera secara bersama-sama," tegasnya.
Gideon juga menyatakan, masih terdapat sebagian jajaran pemerintah yang berpendapat bahwa pengakuan hak ulayat dapat menghambat pembangunan. Pola pikir ini perlu diubah, karena pengalaman berbagai negara membuktikan bahwa pengakuan hak yang sejenis dengan hak ulayat justru menghentikan konflik dan meningkatkan kesejahteraan.
"UUD 1945 dan UUPA mengakui dan menghormati Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Peraturan Menteri Negara Agraria No. 5 tahun 1999 juga telah mengatur mekanisme pengakuan hak ulayat. UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan mengakui pula. Terakhir Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35 Tahun 2012. Persoalannya adalah mengenai peraturan pelaksananya yang belum efektif," katanya.
Dia menjelaskan dalam 10 tahun terakhir belum banyak kemajuan dalam penegakan hukum tanah telantar. Karena itu, Gideon menyarankan ke depannya Kementerian Agraria harus dipimpin oleh sosok yang memahami substansi masalah tanah telantar berikut problem-problem hukum di dalamnya. Sosok tersebut, haruslah orang yang bersih dan berintegritas.
"Apabila persoalan-persoalan ini diatasi, maka BPN RI dapat berkontribusi secara signifikan untuk melaksanakan program Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kala untuk mendistribusikan tanah bagi petani," demikian Gideon Wijaya Ketaren. (*)
Pewarta: Ruslan Burhani
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2014