Tapi suasana ruangan tersebut menjadi ramai pada pukul 15.00 WIB. Gesekan dawai biola, petikan ukulele, betotan contra-bass dan genjrengan tenor menggaung di ruang itu dan mendadak menjadi "magnet".
Suara itu berasal dari lima orang memakai kostum berwarna putih a la kolonial Belanda lengkap dengan sepatu putih, topi putih yang di bordir logo PT. Kereta Api Indonesia dan jam saku berwarna perak bergantung di kantong kiri baju mereka.
Sutekno, Sumardi, Agung, Abdul, serta Joko yang bergabug dalam kelompok Keroncong Gambir Merdeka memainkan lagu keroncong Tanah Air.
Permainan mereka membuat salah seorang penumpang bernama Sutiah, seorang nenek berusia 70 tahun yang menunggu kereta ke Semarang bersama cucu dan menantu, turut asik bersenandung, tangan dan kakinya bergoyang mengikuti irama musik.
"Saya suka lagu keroncong, mengingatkan saya pada masa muda," komentarnya.
Percampuran musik Portugis dan musik Indonesia ini juga disenangi Sudarmoko. Siang itu ia hendak pergi ke Cirebon.
"Musik keroncong adalah budaya yang lahir sebelum Indonesia ada. Budaya ini harus terus dilestarikan," kata dia.
Udi Rachmad yang ingin pulang ke Surabaya pun berpendapat serupa.
Ia mengaku lebih bisa menikmati musik keroncong daripada musik dari luar negeri.
Selain menyanyikan lagu-lagu keroncong tempo dulu, Gambir Merdeka juga membawakan lagu campur sari, pop, rock sesuai dengan permintaan penumpang tetapi tetap dengan nuansa keroncong.
Menurut sang violis, Joko, aksi mereka di stasiun tak lain dilakukan agar anak muda dapat menikmati musik asli Indonesia yang satu itu.
"Kita sengaja menyanyikan lagu-lagu sekarang agar yang muda bisa terpesona oleh musik keroncong," kata Joko.
Tak hanya orang tua, yang muda pun suka dengan hiburan ini, seperti Dania yang berusia 24 tahun terlihat asik menggoyang-goyangkan kaki mengikuti irama musik.
Semua alat musik dan speaker mereka difasilitasi oleh PT. KAI, tempelan stiker Gambir Merdeka lengkap dengan foto dan kontak pribadi tertempel di seluruh alat musik dan pengeras suara.
Kotak biola di letakkan di depan mereka dan dibiarkan terbuka sehingga penumpang yang ingin "menyumbang" bisa menaruh uang di kotak itu.
Di sudut kiri panggung terlihat tumpukan buku lirik lagu yang disiapkan untuk penumpang yang ingin bernyanyi bersama mereka.
Joko dan kawan-kawan tidak pernah mengecap pendidikan musik, mereka bermain secara otodidak. Mereka juga tidak punya waktu khusus untuk latihan bersama.
"Kami langsung main di pangung saja, kami tidak punya waktu latihan karena setiap hari kami main di Stasiun jadi tidak perlu latihan lagi," kata Joko sambil tertawa.
Mengulik lagu-lagu yang belum pernah dimainkan menjadi kegiatan mereka di waktu senggang. Tidak ada hari libur walaupun tanggal merah bagi mereka.
Menyenangkan rasanya bagi mereka bisa bermain di Gambir karena mereka bertemu banyak orang dan banyak pula artis serta pejabat ikut bernyanyi bersama mereka
"Nunung, Aziz Gagap, Haji Komar pernah bernyanyi dengan kami. Bapak Dahlan Iskan juga pernah bernyanyi bersama kami, waktu itu dia bernyanyi lagu Djuwita Malam," kenang Joko sambil melihat-lihat foto mereka bersama pesohor Tanah Air.
Rasa jenuh dan bosan tidak pernah mereka rasakan, bermusik menjadi mata pencaharian utama mereka.
"Kalau bisa ada terus yang manggil kami buat bermain," kata Sutekno.
Selain bermain di Gambir mereka juga bermain di Restauran Mbah Jingkrak pada malam hari, dan acara lain seperti pernikahan di waktu senggang. Musisi favorit mereka adalah grup keroncong Bintang Jakarta.
Jika mereka ingin libur, mereka akan mencari pengganti untuk menggantikan mereka bermain musik di Stasiun Besar Gambir.
Mereka bukanlah penduduk asli Jakarta. Di sini mereka tinggal bersama di Pulo Gadung, Jakarta Timur. Hanya Abdul yang memilki rumah di Jakarta.
Sumardi dan Joko asal Semarang, Jawa Tengah, Sutekno tinggal di Batang, Jawa Tengah, Agung berasal dari Pekalongan, Jawa Tengah dan mereka jarang pulang ke kampung halaman.
Pada saat jam menunjukkan pukul 17.30WIB, alunan musik keroncong pun berakhir. Sore itu lagu Indonesia Tanah Air Beta menjadi pilihan untuk menutup hari.
Setelah selesai, semua alat musik dimasukkan kembali ke dalam kotaknya, kabel-kabel dilepas dan digulung, sound system disusun rapi ke dalam kereta barang. Pak Sumardi mendorong alat-alat tersebut ke gudang Stasiun Gambir.
Berakhirnya pertunjukan mereka di Gambir bukan berarti mereka sudah bisa melepas penat. Mereka harus segera ke Restauran Mbah Jingkrak.
Restauran di Setia Budi Tengah, Jakarta Selatan, itu menjadi tempat Gambir Merdeka bermain selanjutnya dari dari pukul 19.00 WIB hingga 23.00 WIB
"Kerjaan kami sebenarnya ya di Mbah Jingkrak ini, kalau di Gambir cuma tambahan," ujar Sutekno.
Oleh Aubrey Kandelila Fanani
Editor: Ella Syafputri
Copyright © ANTARA 2014