Jakarta (ANTARA News) - Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu mendekati para pembeli asing ("buyers") dan meminta mereka agar tak mengalihkan pesanan sepatu ke negara lain, serta meyakinkan mereka kasus terhentinya produksi tiga pabrik sepatu di dalam negeri merupakan kesalahan manajemen, bukan akibat iklim investasi yang kurang baik. "Sejauh ini 'buyers' tetap memiliki komitmen untuk mempertahankan pesanan mereka ke Indonesia," katanya di Jakarta, Minggu, menanggapi kekhawatiran adanya pengalihan pesanan buyers akibat tutupnya dua pabrik sepatu di Tangerang (Banten) dan satu di Bekasi (Jawa Barat). Ia mengaku telah melakukan pendekatan dengan kelompok Adidas yang memberikan pekerjaan kepada tiga pabrik sepatu di Indonesia yang tutup tersebut. Menurut dia, buyers dalam hal itu lebih mengutamakan daya saing, yang terkait kualitas dan pengiriman dan ia yakin selama Indonesia bisa mempertahankan daya saing di kedua bidang tersebut, maka pesanan akan tetap ada untuk industri sepatu di Indonesia. "Kenyataannya mereka justru menambah pesanannya dari Indonesia," katanya. Bahkan, sejumlah pemegang merek sepatu dunia lainnya, seperti Puma dan Lacoste, serta beberapa merek sepatu casual lainnya juga menambah pesanannya dari Indonesia. "Jadi kasus yang terjadi pada PT Dong Joe sebenarnya persoalan individu perusahaan bersangkutan karena ada masalah manajemennya, tidak ada kaitannya dengan iklim usaha persepatuan di Indonesia," ujar Mari. Tiga pabrik yang tutup tersebut dan dikhawatirkan memiliki efek berantai pengalihan pesanan dari buyers adalah PT Dong Joe dan PT Tong Yang yang mendapat pesanan dari Reebok dan PT Spotec mendapat pesanan pembuatan sepatu dari Adidas. Kasus PT Dong Joe dan PT Spotec berawal dari kepergian pemiliknya (Mr Cheon dan Mr Kim CK) yang meninggalkan Indonesia ke Korea, tanpa pemberitahuan kepada siapa pun dan tidak bertanggungjawab, sehingga produksinya terhenti. Sedangkan kasus PT Tong Yang terkena dampaknya berupa penghentian pasokan bahan baku dari para pemasoknya. Jangan panik Selain melakukan pendekatan dengan "buyers", Mendag Mari E Pangestu juga meminta para pemasok, bank, dan bahkan pekerja (buruh) tidak panik menghadapi masalah tersebut, karena sebenarnya industri persepatuan masih sangat prospektif, sehingga ketiga industri tersebut bisa diselamatkan. Ia mengaku sudah meminta Aprisindo (Asosiasi Persepatuan Indonesia) untuk melakukan pertemuan dengan perbankan dan para pemasok mereka dan menjelaskan duduk persoalan ketiga kasus serta menjelaskan potensi bisnis persepatuan di dalam negeri dan upaya penyelamatan industri tersebut. "Setelah buyers mengurangi pesanan dari Indonesia pasca krisis lalu, merk raksasa seperti Adidas, Lacoste, Puma dan sejumlah merek sepatu casual kini mulai kembali masuk ke Indonesia. Bahkan Adidas telah mengalihkan sebagian ordernya dari China setelah melihat iklim investasi di Indonesia membaik. Selain itu, baru saja dua investor asing selesai merealisasikan investasi mereka di sini dan telah memulai ekspornya. Kita tidak mau keberhasilan itu, hilang begitu saja," ujarnya. Potensi industri sepatu saat ini sangat bagus yang terlihat dari meningkatnya ekspor sepatu ke berbagai negara terutama Eropa. Tahun lalu ekspor sepatu mencapai 1,4 miliar dolar AS dan tahun ini diperkirakan naik menjadi sekitar 1,6 miliar sampai 1,8 miliar dolar AS. Industri ini menyerap sekitar 400.000 tenaga kerja. Sementara itu, Wakil Ketua DPR Bidangi Industri, Perdagangan dan Perekonomian, Muhaimin Iskandar, mengatakan harus ada langkah dalam penyelamatan industri sepatu yang menghentikan produksinya itu agar tidak sampai bubar, mengingat perusahaan tersebut melibatkan banyak tenaga kerja mencapai sekitar 18 ribu orang, di samping dampak berantainya terhadap citra investasi di Indonesia. "Oleh karena itu, jangan sampai terjadi tindakan anarkis yang hanya akan membuat perusahaan bubar. Kalau ini terjadi, yang rugi tidak hanya pemilik, tapi juga tenaga kerja akan kehilangan kesempatan kerja, utang perusahaan ke bank dan pemasok tidak terbayar," katanya. Utang PT Dong Jo Indonesia ke bank diperkirakan mencapai sekitar 30 juta dolar AS atau sekitar Rp 300 miliar, yang sebagian besar berasal dari Bank BRI (sekitar 25 juta dolar AS) dan sisanya dari bank lain. Sedangkan utang ke pemasok mencapai sekitar Rp 150 miliar. "Kita perlu menjaga, jangan sampai kasus ini merusak apa yang telah dicapai selama ini. Apalagi industri sepatu adalah industri padat karya yang efek berantainya sangat besar," kata Muhaimin. (*)
Copyright © ANTARA 2006