Tripoli (ANTARA News) - Milisi yang mengendalikan dua kota utama Libya, Selasa, mengecam perundingan, yang telah susah payah ditengahi oleh PBB, untuk mengakhiri perpecahan yang telah melumpuhkan negara yang dilanda aksi kekerasan itu.
Parlemen negara itu, yang terpilih pada 25 Juni dan didominasi oleh kelompok anti-Islam, diakui oleh masyarakat internasional, tetapi ditentang oleh koalisi milisi yang mengontrol Tripoli dan oleh kelompok Islamis yang berada di kota bagian timur, Benghazi.
Pertemuan itu diadakan di kota barat daya, Ghadames, setelah diplomasi maraton yang dilakukan oleh kepala misi PBB Bernardino Leon, dan akan dihadiri oleh perwakilan dari Inggris dan Malta.
Perundingan yang digambarkan Leon sebagai "positif" dan "konstruktif" itu berusaha untuk menstabilkan situasi politik dan menghentikan kekerasan yang melanda Libya sejak pemberontakan bersenjata yang menggulingkan dan membunuh diktator Moamer Gaddafi pada 2011.
Pada Selasa, koalisi Fajr Libya (Libya Fajar) di Tripoli mengecam dialog itu dalam sebuah pernyataan dan menyatakan bahwa kelompok tersebut akan melanjutkan "operasi militer," tanpa menjelaskan lebih lanjut.
Di bagian timur, "Shura Benghazi Revolusioner" mengeluarkan pernyataan mereka yang berisi penolakan inisiatif itu yang disebutnya sebagai "tidak adil".
Sementara itu, Dar al-Ifta, otoritas keagamaan tertinggi di negara itu, menyerukan "penundaan" pembicaraan, dan memperingatkan "keputusan berbahaya" dari parlemen baru.
Dar al-Ifta, yang telah secara rutin dikritik karena campur tangan dalam politik, secara luas dianggap sebagai pendukung Fajr Libya di ibukota dan milisi di Benghazi.
Dalam pernyataannya, Dar al-Ifta mengritik keputusan parlemen yang merujuk pihak-pihak tertentu yang disebutnya sebagai "revolusioner" dengan sebutan "teroris".
Mayoritas faksi di parlemen baru itu telah bertemu di kota bagian timur, Tobruk, sejak kelompok Islam dan sekutu mereka menguasai Tripoli bulan lalu, demikian seperti dikutip dari AFP.
(Uu.G003)
Editor: Heppy Ratna Sari
Copyright © ANTARA 2014