Jakarta, (ANTARA News) - Sejak gejala pemanasan global (global warming) mulai diteliti secara aktif pada dekade 1980-an para ahli lingkungan menyatakan terkejut atas kesimpulan hasil penelitiannya. Diperkirakan bahwa planet bumi bakal mengalami kenaikan suhu rata-rata 3,5 derajat Celcius memasuki abad mendatang sebagai efek akumulasi penumpukan gas rumah kaca (GRK). Penyebabnya Carbon Dioksida (CO2) dan beberapa gas sejenisnya, sisa pembakaran bahan bakar minyak, yang ternyata telah memenuhi atmosfer bumi dan menciptakan "dinding kaca" yang menjebak radiasi panas matahari tertahan di permukaan bumi. Salah satu anggota tim peneliti dari NASA, Gavin Smith, mencoba menghitung selisih energi matahari yang diterima oleh atmosfer dengan yang dilepaskan kembali ke luar angkasa. Ternyata, atmosfer bumi menyerap energi matahari 0,85 watt per meter persegi (secara keseluruhan setara dengan tujuh triliun bola lampu 60 watt), lebih dari energi yang dilepaskan kembali. Direktur Goddard Institute for Space Studies milik NASA di New York, Jim Hansen, mengatakan, bahwa kenaikan suhu satu derajat Celcius saja bisa memicu melelehnya lapisan es di kutub dunia sehingga permukaan laut akan naik menjadi beberapa meter. Padahal, disebutkan peningkatan sebesar satu meter diprediksi akan mampu menggusur puluhan juta orang akibat terendamnya kota dan desa di kawasan pesisir, lahan pertanian produktif akan hancur terendam dan persediaan air tawar akan tercemar. Akibat pemanasan global lain hasil penelitian para ahli yang juga mencemaskan, berupa perubahan iklim, seperti pola angin; meningkatnya badai atmosferik; perubahan pola curah hujan dan siklus hidrologi serta perubahan ekosistem; hingga bertambahnya jenis organisme penyebab penyakit yang berdampak pada kesehatan. Di Indonesia, Deputi Menteri Lingkungan Hidup bidang Konservasi SDA dan Pengendalian Kerusakan Lingkungan, Masnellyati Hilman mengatakan, indikasi pemanasan global telah dirasakan, misalnya kenaikan suhu yang ekstrem beberapa waktu belakangan ini. "Misalnya suhu di Kalimantan yang biasanya sekitar 35 derajat Celcius naik menjadi 39 derajat Celcius, di Sumatera yang biasanya berkisar pada 33-34 derajat naik menjadi 37 derajat, dan di Jakarta yang biasanya 32-34 naik menjadi 36 derajat Celcius," ujarnya. Pemanasan global juga terlihat dari kenaikan permukaan laut Indonesia 0,8 cm per tahun yang berdampak pada bakal tenggelamnya pulau-pulau nusantara hampir satu meter dalam 15 tahun ke depan. "Indonesia sebagai negara kepulauan akan menjadi pihak yang sangat merasakan dampak pemanasan global ini perlahan tetapi pasti," katanya. Tak sependapat Begitu menakutkanyakah dampak Pemanasan Global? Kepala Pusat Pemanfaatan Air, Atmosfer dan Iklim, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), Sri Kaloka Prabotosari, termasuk ilmuwan yang berada di seberang Ilmuwan pro-terjadinya perubahan iklim. Menurut dia, kenaikan suhu di banyak tempat di Indonesia yang dikhawatirkan banyak pihak, masih dalam batas normal, tidak terkait dengan pemanasan global yang dicemaskan dan belum bisa disebut sebagai perubahan iklim. "Menurut standar kami, standar yang digunakan Meteorologi dan Geofisika menyebutkan, perubahan iklim baru ada jika memang terjadi perubahan selama 30 tahun sebesar 15 persen, sehingga kalau perubahan itu hanya lima persen maka tidak bisa disebut sebagai perubahan iklim," katanya. Karena itu, lanjut dia, perlu dibedakan antara perubahan iklim yang dilihat dalam 30 tahun dan variabilitas iklim yang perubahannya dilihat per tahun, yang terus berubah-ubah dan naik turun. "Jadi masih dipertanyakan apakah benar ada perubahan secara signifikan iklim bumi atau kenaikan suhu bumi? Bisa saja tahun ini suhu meningkat secara ekstrem, tahun depan belum tentu, atau dalam lima tahun terus meningkat tetapi lalu turun lagi," katanya. LAPAN mempunyai data sejak 100 tahun lalu, namun ternyata tak ada data yang menunjukkan kondisi perubahan hingga 15 persen. Ia juga mencontohkan kondisi kota Bandung yang semakin panas dibanding 30 tahun lalu dengan perubahan yang cukup besar, tetapi ternyata tak ada kaitannya dengan pemanasan global. "Kenaikan suhu itu bukan bagian dari pemanasan global, tetapi akibat persoalan lokal sendiri misalnya pembangunan kota Bandung yang terlalu pesat menggusur pepohonan yang ada," katanya. Sementara itu, Kepala Badan Litbang Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) Dr Mezak Ratag, mengatakan, stasiun-stasiun BMG yang ada di seluruh Indonesia memang mencatat kondisi 100 tahun terakhir terdapat kenaikan suhu 0,5-1 derajat Celcius. "Tetapi jangan lupa kebanyakan stasiun BMG berada di perkotaan atau daerah yang berkembang menjadi daerah urban, sehingga kenaikan itu sebenarnya terkait dengan persoalan lokal, berupa perubahan vegetasi menjadi kawasan non vegetasi," katanya. Ia juga tak setuju kenaikan muka air laut nusantara dipublikasikan sebagai akibat pemanasan global, sementara kenyataan lain Indonesia berada pada jalur tektonik yang aktif dan efeknya membuat banyak kepulauan Indonesia terus bergeser dan naik-turun. "Muka air laut di utara Jawa, misalnya, seolah naik karena adanya subduksi lempeng Australia yang menghujam terus ke utara ke bawah Pulau Jawa di lempeng Eurasia, sementara muka air laut selatan Jawa seolah turun, karena daratannya naik didesak lempeng Australia. Jadi penyebabnya tak sederhana," katanya. Pemanasan global, akunya, mungkin memang terjadi, namun penyebabnya masih tanda tanya, apakah benar semua karena karbon? Karena pemanfaatan bahan bakar fosil? Apakah gaung kecemasan soal pemanasan global itu tak ada hubungannya dengan proyek-proyek pengurangan emisi? "Pasalnya lebih dari 95 persen karbon berada di bebatuan dan terlarut di laut dan hanya kurang dari dua persen karbon yang ada di udara. Jadi kalau logikanya begitu, suhulah yang membuat karbon itu naik ke udara, bukan karbon yang menyebabkan kenaikan suhu," katanya. Ia juga membeberkan bagaimana meteorolog, profesi yang berkaitan dengan iklim, seperti pernyataan World Meteorological Organization (WMO), sebenarnya terpinggirkan dalam tim assesment masalah pemanasan global dan perubahan iklim. "Dari 2.500 anggota tim assesment itu, tidak sampai 200 orang yang merupakan meteorolog," katanya sambil menambahkan bahwa akan ada Konferensi Tahunan PBB di Nairobi Kenya (6-17 November 2006) mengenai Perubahan Iklim. Aktivitas matahari Mezak memperkirakan, bumi yang terasa lebih panas sebenarnya lebih diakibatkan oleh aktivitas matahari yang sedang meningkat dan mempengaruhi kondisi permukaan bumi, bukan karena karbon atau hanya karena bahan bakar fosil yang sejak abad terakhir menjadi primadona industrialisasi dan modernisasi. Soal meningkatnya aktivitas matahari pihaknya sudah meneliti selama bertahun-tahun dan akan membeberkan banyak bukti dalam bukunya yang bakal diluncurkan dalam waktu dekat. "Kondisi bumi kita selalu mengikuti aktivitas matahari. Saat ini aktivitas matahari sedang meningkat dan membuat suhu bumi naik," katanya. Peneliti lainnya, Ilya Usoskin dari Observatorium Geofisika Sodankyla di Universitas Oulu, Finlandia, juga telah membuktikan soal peningkatan aktivitas Matahari dalam 100 tahun terakhir. Timnya mempelajari meteorit yang jatuh ke permukaan Bumi selama 240 tahun terakhir dengan menganalisis kandungan Titanium-44, salah satu isotopnya yang bersifat radioaktif. Dari situ, ditemukan peningkatan radioaktivitas Matahari selama abad ke-20 yang berkisar pada level lebih tinggi dari level tertinggi yang pernah dicapai dalam catatan data historis. Pemanasan global memang mencemaskan, namun masih diperdebatkan apakah berkaitan erat dengan karbon yang selama ini menjadi tertuduh, aktivitas matahari atau yang lainnya, atau bahkan sebenarnya yang terjadi hanya pemanasan per lokal kawasan saja dan belum ada perubahan iklim? (*)
Pewarta: Oleh Dewanti Lestari
Copyright © ANTARA 2006