Setiap peristiwa, sekecil apapun selalu membawa perubahan ...

Surabaya (ANTARA News) - "Pak, kapan main balonnya?" kata Betha setengah berteriak.

Siswa lain tidak kalah semangat menanyakan hal yang sama. Mereka adalah siswa kelas V dan VI Sekolah Dasar Negeri Taman, Kecamatan Grujugan, Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur, yang pada Senin (29/9) kedatangan relawan Kelas Inspirasi atau KI.

Relawan KI berasal dari berbagai profesi, seperti wartawan, pegawai bank, pelukis, musisi, pegawai negeri sipil dan lainnya. Mereka terjun ke sekolah-sekolah untuk membuka pikiran anak-anak sekolah dasar mengenai beragamnya pilihan profesi.

Ketika tiba saatnya balon-balon itu akan dimainkan, rombongan belajar dari gabungan kelas VA, VB, VIA dan VIB itu tampak riuh. Panitia relawan yang mengenakan kaos oranye sibuk membagikan kertas warna warni yang salah satu sisinya berperekat.

"Ingat ya, perekatnya jangan dipegang-pegang karena nanti akan direkatkan pada balon," kata seorang panitia.

Beberapa siswa yang telanjur memegang-megang ujung berlem itu meminta kertas baru karena perekatnya tidak berfungsi. Beberapa saat kemudian panitia relawan yang umumnya masih mahasiswa itu memberi perintah agar kertas itu ditulisi nama dan cita-cita.

Melihat tulisan yang tertera di dalam kertas, cita-cita yang dicantumkan mereka masih "standar". Kalau tidak guru, ya polisi atau tentara, pilot atau dokter. Tidak ada, atau setidaknya jarang yang kemudian menuliskan profesi di luar "kotak" itu.

Satu anak yang kemudian berani mengubah cita-citanya dari semula guru kemudian ingin menjadi jurnalis. "Kata bapak, kalau menjadi jurnalis bisa jalan-jalan kemana-mana, bahkan ke luar negeri," kata Ajeng, siswa kelas VI pada relawan pengajar.

Ajeng melanjutkan bertanya pada relawan itu karena kertas yang sudah berisi "proposal" cita-cita itu habis perekatnya. Si relawan kemudian memberi jalan dengan melubangi kertas untuk memasukkan benang pengikat balon. Satu balon minimal "dititipi" tiga "proposal" cita-cita.

Tersenyum Ajeng melihat "proposal"-nya terikat kuat pada balon. Ini berbeda dengan balon murid lainnya yang setia menggunakan perekat sebagai pengikatnya. Pilihan Ajeng juga berbeda karena berani keluar dari cita-cita standar setelah terinspirasi cerita relawan si jurnalis itu.

Dua siswa, yakni Nabila dan Ida, yang satu balon dengan Ajeng tetap "keukeuh" dengan cita-cita awal. Nabila ingin menjadi polwan dan Ida ingin menjadi guru. Sebetulnya tidak menjadi soal mengenai perubahan atau kekeukeuhan cita-cita itu. Biarlah balon-balon itu melambungkan mimpi anak-anak pemilik masa depan Indonesia tersebut.

Siang itu, disaksikan debu dan desiran angin kering asa anak-anak desa di pinggiran kabupaten penghasil penganan tapai akan menjunjung. Balon-balon itu tidak ada kaitannya dengan ritual atau yang lainnya. Balon itu hanya simbol yang mengajak anak-anak untuk berani bermimpi.

Balon terus meninggi dan terlihat semakin kecil. Si pemilik proposal kemudian berebut mencium tangan panitia relawan, relawan pengajar dan para guru. Mereka pamit pulang ke rumah masing-masing dan sebagian masih diajak berfoto bersama oleh relawan dan panitia.

Kegiatan sehari para relawan pengajar dan panitia relawan itu bukan pekerjaan "penanam kangkung". Mereka tidak sedang menanam yang kemudian bisa dipetik dua atau tiga bulan kemudian. Mereka adalah penanam jangkar di alam bawah sadar siswa mengenai banyaknya pintu sukses di masa depan.

Bagi kaum "penanam kangkung", kegiatan KI barangkali tidak terlalu memiliki makna. KI sedang menanam sesuatu dan akan bertumbuh untuk masa yang panjang.

Rica Susilowati, koordinator panitia relawan KI Bondowoso mengatakan bahwa orang yang berpikir jangka pendek akan pesimis dengan kegiatan tersebut. Tapi dia yakin bahwa kehadiran KI ke sekolah itu akan memiliki makna mendalam di hati anak-anak SD.

"Saya yakini soal itu, karena saya sendiri selalu mengalami seperti itu. Setiap peristiwa, sekecil apapun selalu membawa perubahan bagi diri saya ke arah yang lebih baik. Demikian juga dengan kegiatan Kelas Inspirasi ini," kata guru SMP Negeri 2 Tamanan, Bondowoso yang juga penulis fiksi itu.

Ia mengakui bahwa tidak mudah bagi dirinya membagi waktu untuk mengurus persiapan KI ini dengan tugas mengajar di sekolah dan pekerjaan domestik dengan dua anak itu. Namun hal itu bisa diatasi karena ada rasa "dendam" masa lalu di dalam dirinya untuk berbagi dengan anak-anak.

Rica mengaku tidak memiliki prestasi membanggakan ketika di sekolah, bahkan cenderung dibuli teman-temannya karena ia bukan tergolong anak istimewa. Seiring perjalanan waktu ia kemudian bisa menunjukkan bahwa dirinya juga memiliki prestasi, antara dalam dunia tulis menulis cereta pendek.

Perempuan berperawakan kecil ini tidak ingin anak-anak sekolah saat ini "buta" jalan seperti dirinya dulu. Dia ingin anak-anak itu memiliki panduan sekaligus membuka harapan bahwa mereka juga berhak atas kenyataan bernama "sukses". Bahkan mereka harus sukses.

Pradipta, dari KI Jatim, mengemukakan bahwa masalah pendidikan di negeri ini bukan sekedar fasilitas, termasuk gedung yang megah. Lebih dari itu, pendidikan di negeri kita harus juga dimegahkan juga dengan motivasi.

Ia mengemukakan bahwa sudah banyak sekolah yang mendapatkan bantuan dari pemerintah sehingga gedung-gedungnya sangat bagus. Namun ia menemukan kenyataan pahit ketika menyelenggarakan KI pertama di kota besar seperti Surabaya dan sekitarnya.

"Ketika relawan pengajar bertanya apa cita-cita mereka, dijawab ingin menjadi preman, padahal ini sekolah dekat dengan Surabaya. Ada juga yang menjawab ingin menjadi perampok. Mungkin karena hal itu yang mereka lihat setiap hari," katanya.

Mengenai pertanyaan apa bisa kita memberikan sesuatu kepada anak-anak didik dengan kegiatan hanya satu hari, Pradipta menjawab bahwa KI dengan relawannya hanya memancing anak-anak agar termotivasi untuk maju dengan empat landasan utama, yakni kejujuran, kerja keras, mandiri dan pantang menyerah.

Sejumlah relawan pengajar mengaku bersyukur bisa terlibat dalam kegiatan itu. Dani Wirayanti, perempuan karir yang bekerja di BNI Wonosobo, Jawa Tengah, mengaku sudah satu tahun menunggu momen itu datang.

Sarjana lulusan teknologi pertanian Universitas Brawijaya itu sebetulnya ingin ikut program "Indonesia Mengajar", namun tidak disetujui oleh orang tuanya. Mengenai pilihan di Bondowoso, ia mengaku karena daerah itu tempat ia lahir dan besar.

"Jadi semacam ada panggilan untuk berbuat sesuatu untuk Bondowoso ini. Saya yakin kegiatan sehari ini pasti memiliki makna berarti bagi anak-anak. Terlepas dari cara mengajar kita yang tentu berbeda-beda karena kita memang bukan guru," katanya.

Menurut dia, anak-anak seusia SD itu perlu dibukakan pikirannya untuk berpikir luas tentang masa depan. Banyak profesi yang bisa mereka tekuni. Namun peluang itu selama ini sangat jarang diketahui secara mendetil oleh anak.

Menurut Dani, kegiatan KI ini akan membuka wawasan berpikir anak-anak SD agar tahu arah mengenai rencana masa depan.

Peta jalan telah mereka bukakan dan mimpi-mimpi anak-anak itu telah dilambungkan. Kumpulan balon pembawa asa itu terus meninggi dan kemudian menghilang, goresan cita-cita anak-anak itu tidak hilang. Ia akan menjemput anak-anak Desa Taman itu 10 atau belasan tahun kemudian untuk diwujudkan dalam kenyataan. (*)

Oleh Masuki M Astro
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2014