Jakarta (ANTARA News) - Kasus-kasus perdagangan orang di Indonesia hingga saat ini dinilai belum banyak yang terungkap dan belum terdata dengan baik atau "under reported" karena jumlah kasus perdagangan orang yang terdata masih minim. Hal itu dikemukakan oleh Duta Besar John R Miller, Direktur Kantor Pemantauan dan Pemberantasan Perdagangan Manusia Departemen Luar Negeri Amerika Serikat usai mengunjungi korban perdagangan manusia yang dirawat di Rumah Sakit Pusat Polri Raden Said Sukanto, Kramat Jati, Jakarta Timur pada Sabtu siang dan diakui kebenarannya oleh pemerintah. Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Meutia Hatta Swasono, yang juga melakukan kunjungan ke Pusat Pemulihan Rumah Sakit Raden Said Sukanto, mengatakan selama ini pihaknya mengalami kesulitan untuk menemukan dan mengumpulkan data akurat tentang kasus-kasus perdagangan orang yang terjadi pada warga negara Indonesia. "Jumlahnya memang sulit diketahui dengan pasti. Kita sulit melacak kasus seperti ini karena masalahnya sangat kompleks, tidak hanya berhubungan dengan jenis pekerjaan saja tapi juga pola pengiriman tenaga kerja yang kadang di luar kendali kita," katanya. Dia mencontohkan pengiriman tenaga kerja ke negara-negara yang sudah mempunyai hubungan kerjasama dengan pemerintah kadang bisa dipindahkan ke negara-negara yang tidak pernah membuat nota kesepahaman tentang penempatan tenaga kerja dan kemudian tidak dipekerjakan serta digaji dengan layak. "Kadang mereka ditransfer ke negara yang tidak membuat MoU dengan pemerintah sehingga TKW itu menjadi tenaga kerja yang tidak terdaftar atau ilegal di negara tersebut. Mereka sangat rentan menjadi korban kekerasan dan ketidakadilan majikan," katanya. Selain itu, Deputi Bidang Perlindungan Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan Dra. Sumarni Dawam Rahardjo menambahkan pengumpulan data tentang kasus perdagangan manusia di Indonesia selama ini belum bisa dilakukan secara optimal karena belum adanya perangkat hukum yang memberikan definisi jelas tentang terminologi kasus perdagangan orang itu sendiri. "Kerjanya memang belum begitu signifikan. Data tidak bisa dikumpulkan dengan mudah karena perdagangan orang memang belum ada dalam terminologi hukum atau bahasa hukum kita jadi pihak-pihak yang berwenang seperti kepolisian juga susah untuk mengklafisikasikan-nya," paparnya. Peraturan perundangan tentang pemberantasan perdagangan orang sendiri, kata dia, hingga saat ini drafnya masih dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat. "Tanggal 15 kemarin baru masuk Panitia Kerja DPR," ujarnya. Selama ini, ia melanjutkan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan pemangku kepentingan yang menangani kasus perdagangan perempuan hanya mengandalkan data kasus perdagangan orang dari Badan Reserse dan Kriminal Polri. Namun dia tidak menyebutkan jumlah kasus atau korban perdagangan orang yang terjadi di Indonesia pada 2005 dan 2006. Sementara data tentang korban perdagangan orang yang dibantu oleh Organisasi Migrasi Internasional (International Organization for Migration/IOM) menunjukkan selama Maret 2005 hingga Juli 2006 terdapat 1.231 korban perdagangan orang yang terdiri atas 134 pria dan 1.097 wanita. Korban yang terdiri atas 16 balita, 268 anak-anak dan 947 orang dewasa itu paling banyak berasal dari Kalimantan Barat, Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Nusa Tenggara Barat, Lampung, Sumatera Utara, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan dan DKI Jakarta.(*)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2006