Mereka menolak pemberlakuan mekanisme pemilihan kepada daerah oleh DPRD yang tertuang dalam Rancangan Undang-Undang tentang Pemilihan Kepala Daerah yang sudah disetujui DPR menjadi undang-undang pada 26 September.
"Ini untuk memulai satu rentetan membangun partisipasi masyarakat menentang Undang-Undang Pilkada yang baru," kata Koordinator KontraS Haris Azhar ketika berorasi
Menurut dia, pemberlakuan undang-undang tersebut sama halnya dengan mematikan partisipasi masyarakat di pemerintahan
"Ini adalah kejahatan yang dilakukan DPR. Mereka mencuri hak-hak masyarakat untuk memilih dan dipilih. Kami berhak berpartisipasi di pemerintahan, kami menolak jika pemimpin di negeri ini hanya datang dari partai politik," tegasnya.
Pemberlakuan undang-undang tersebut, menurut dia, merupakan suatu upaya untuk mengembalikan kekuatan Orde Baru, yang ditumbangkan oleh rakyat pada Mei 1998.
"Ruang-ruang rakyat untuk berdemokrasi semakin lama semakin digencet. Dari secara hukum, ekspresi maupun secara partisipasi politik, ketiga-tiga sudah ditutup hari ini. Kenapa ini terjadi karena elit politik berasa betul bahwa masyarakat mengontrol mereka," tambah dia.
Sementara aktivis Gerakan Dekrit Rakyat Indonesia Ray Rangkuti meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak mengesahkan Undang-Undang Pilkada yang baru.
"Pernyataan tidak menyetujui itu saja tidak cukup, Presiden harus datang langsung ke DPR menemui pimpinan DPR menyatakan secara lisan bahwa dia tidak menyetujui dan tidak menindaklanjuti rapat paripurna itu," katanya.
Pewarta: Zabur Karuru
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2014