Sana`a (ANTARA News) - Profesi sebagai pengemis di Arab Saudi sangat menjanjikan untuk menjadi orang kaya mengingat warga negeri ini banyak yang tidak tega melihat para "tukang minta belas kasihan" tersebut mengadahkan tangan. Hampir semua gelandangan dan pengemis (gepeng) di negeri kaya minyak itu adalah warga non pribumi. Di antara mereka banyak yang datang pada musim umrah, terutama bulan Ramadhan dan musim haji hanya untuk melaksanakan profesi tersebut. Berdasarkan hasil penelitian lapangan, hasil "tasawwul", demikian sebutan populer untuk profesi mengemis di Saudi mencapai 700 juta Saudi riyal (sekitar Rp1,7 triliun) per tahun. Puncak panen "tasawwul" di negeri petrodolar itu, seperti dilaporkan harian Al-Madinah, Saudi, Jum`at (3/11), berlangsung pada bulan Ramadhan, Idul Fitri dan pada musim haji. Pada musim-musim panen itu, warga negeri tempat dua tanah suci umat Islam seluruh dunia itu, umumnya tidak berpikir untuk merogoh riyal memberikan siapa saja yang mengadahkan tangan. Apalagi yang berprofesi sebagai "mutasawwil" (pengemis) adalah orang-orang dari luar Saudi, terutama mukimin (warga asing) illegal dan jemaah manca negara yang takhalluf (kadaluarsa masa berlaku visa). Warga setempat menganggap mereka sebagai musafir yang wajib dibantu. Berdasarkan data pihak terkait negeri itu, terdapat sebanyak 150 ribu pengemis yang beroperasi di jalan-jalan dan tempat keramaian yang sebagian besar beroperasi di dua kota suci yakni Mekkah dan Madinah. Dengan demikian, rata-rata penghasilan per kapita setiap pengemis setiap tahunnya mencapai 1333 riyal (sekitar Rp3,2 juta). Tapi sebagian pengemis dapat menghasilkan puluhan bahkan ratusan juta setiap tahun. Contohnya, seperti dilaporkan beberapa waktu lalu, bahwa Badan Pemberantasan Pengemis Saudi berhasil menemukan uang sebanyak 40 ribu riyal (sekitar Rp96 juta) saat menggerebek seorang pengmis tua. Pada musim umrah terutama di bulan puasa, dan musim haji, para pengemis tersebut bukan hanya panen dari penduduk pribumi akan tetapi dari jemaah umrah dan haji manca negara. Meskipun pemerintah telah berusaha mengurangi angka "tasawwul" tersebut, namun karena hasilnya yang cukup besar itu, membuat pihak berwajib masih tetap kerepotan menertibkannya.(*)

Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2006