"Penetapan UU Pilkada oleh DPR adalah hasil proses politik di parlemen yang harus kita terima, apalagi publik secara terbuka dapat melihat proses dan pengambilan keputusannya," ujar Ketua Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP Unila itu, di Bandarlampung, Jumat.
Penetapan itu dihasilkan pada Jumat dini hari melalui pemungutan suara (voting) tanpa kehadiran Fraksi Partai Demokrat yang memilih keluar (walk out) dari paripurna DPR.
Menurut Dedy, dengan hasil proses politik di parlemen seperti itu, semestinya masyarakat luas juga harus dapat menerimanya dan memahami bahwa semua itu sebenarnya merupakan proses politik di parlemen untuk mencari format yang lebih tepat dalam memilih kepala daerah.
"Masyarakat hendaknya jangan memahami penetapan RUU Pilkada itu sebagai sebuah konflik politik yang tajam antarkekuatan politik di negeri ini, mengingat itu adalah bagian upaya politik mencari cara terbaik menetapkan pemimpin daerah," ujarnya lagi.
Apalagi, katanya, apabila ada pihak yang tidak puas dan tidak dapat menerima hasil penetapan DPR tentang RUU Pilkada itu, masih terbuka jalur hukum dan gugatan terakhir melalui Mahkamah Konstitusi (MK).
Dia menegaskan lagi bahwa semua itu adalah proses politik dengan realitas yang terjadi secara riil dalam kehidupan politik nasional saat ini, sehingga tidak perlu diinterpretasikan macam-macam, seperti mengaitkannya dengan balas dendam pihak yang kalah dalam pemilihan presiden lalu.
Ia juga menilai, dua opsi yang dipilih oleh DPR, yaitu pilkada langsung atau pilkada oleh DPRD, dari masing-masing pihak yang mendukung dan mengusungnya memiliki argumentasi, alasan, dan rasionalitasnya masing-masing.
"Kedua opsi itu oleh para pihak juga memiliki data pendukung untuk menguatkan argumentasinya masing-masing, itu adalah faktanya," kata dia lagi.
Karena itu, dia berharap hasil penetapan RUU Pilkada oleh DPRD itu, tidak lagi dipertentangkan, sehingga para pihak semestinya dapat memberikan wacana yang rasional serta pencerahan kepada masyarakat luas bahwa semua itu adalah upaya bersama untuk menemukan format atau instrumen pemilihan kepala daerah di Indonesia yang paling tepat dan tidak menimbulkan akibat buruk bagi semua pihak lagi.
"Semua itu adalah bagian dari upaya mencari dan mendapatkan instrumen politik yang paling efektif dalam menentukan figur kepala daerah," katanya.
Dedy tidak sependapat dengan penilaian bahwa persoalan pilkada melalui DPRD yang dipertentangkan dengan pilkada langsung itu adalah satu hal yang dianggap ideologis dan menjadi penentu nasib bangsa Indonesia ke depan secara langsung. "Jangan dibawa ke sana, karena memang persoalan yang sebenarnya bukan sebesar dan seperti itu," ujarnya.
Dedy juga mengimbau para elite politik untuk juga menyampaikan wacana rasionalitas penetapan RUU Pilkada itu kepada publik, agar tidak lagi mempertentangkannya karena akan berpotensi serta rawan menimbulkan gesekan sosial di tingkatan masyarakat.
Ia menyatakan, yang diperlukan masyarakat saat ini adalah perlu didorong menjadi semakin matang dalam menghadapi apa pun perkembangan politik nasional, sehingga pada saatnya pelaksanaan pilkada dapat kembali dilakukan secara langsung.
"Saat ini, tidak dapat dipungkiri bahwa pilkada secara langsung juga telah menimbulkan efek buruk bagi masyarakat maupun para kepala daerah yang terpilih kemudian bermasalah dan banyak yang akhirnya terlibat korupsi. Tapi pada sisi yang lain, pilkada langsung juga terbukti telah menumbuhkan dinamika politik yang positif bagi masyarakat luas sehingga warga menjadi aktif membicarakan dan menyikapi figur pemimpin yang akan mereka pilih," katanya.
(B014/H-KWR)
Pewarta: Budisantoso Budiman
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2014