Sebelumya sepasang suami isteri itu terlihat kebingungan di luar areal Masjidil Haram karena tidak tahu arah pulang. Mereka hanya menggunakan identitas yang dikalungkan dengan bertuliskan sebuah biro perjalanan.
Selain itu mereka tidak menggunakn atribut yang biasanya digunakan oleh haji resmi atau biasa disebut haji reguler atau haji kuota, seperti gelang identitas. Mereka tidak mengetahui secara pasti tempat tinggalnya hanya mengatakan kondisinya seperti penampungan.
Saat itu jamaah asal Jawa Timur itu masih diduga sebagai haji kuota atau bahkan haji khusus yang tidak membawa identitas resmi sehingga dibawa ke kantor Daker Makkah.
Namun setelah berbincang, diperkirakan mereka bukan merupakan haji yang melalui jalur resmi. Hal ini diketahui melalui cara membayar biaya haji yang tidak sesuai jalur yang selama ini berlaku dan mereka mengaku tidak diberikan identitas seperti yang dimiliki jamaah haji resmi.
Namun mereka mengaku tidak tahu jika masuk jamaah haji yang tidak terdaftar resmi.
Mereka mengaku ditawari seseorang untuk berangkat haji dengan biaya Rp80 juta per orang, sehingga berdua menjadi Rp160 juta. Mereka dibiayai anaknya. Padahal biaya resmi haji reguler hanya sekitar Rp38 juta. Biaya mereka hampir mendekati biaya haji khusus (ONH Plus).
Namun memang jika melalui jalur haji resmi, calon jamaah harus menunggu lama, termasuk haji khusus. Sementara mereka mengaku prosesnya hanya enam bulan.
Ternyata bukan mereka saja yang berangkat, namun ada 18 orang dari Bandara Juanda Surabaya. Rombongan tidak langsung menuju Arab Saudi tapi harus beberapa kali ganti pesawat yakni di Singapura dan kemudian di Abudabi, untuk selanjutnya ke Jeddah. Rombongan tanpa ada pembimbing sama sekali, padahal jika hajim resmi maka di pesawat antara lain ada petugas pembing haji dan tenaga kesehatan.
Setelah dijemput bus kecil mereka dibawa ke tempat penginapan. Yang mengenaskan, tempat penginapan tersebut tidak layak, apalagi jika dibandingan dengan penginapan jamaah haji resmi, bahkan jamaah haji reguler sekalipun. "Seperti penampungan," kata mereka lalu mengatakan lebih bagus rumah mereka di tanah air.
Selain itu penginapan berada di lingkungan dan bangunan kumuh dengan ventilasi tidak bagus sehingga tercium bau kurang sedap. Untuk menuju ruangan harus melewati lorong kecil. Ada dua kamar yang terlihat yang diisi dengan tempat tidur dengan kasur tipis. Di salah satu kamar diisi oleh delapan orang, tanpa pendingin ruangan dan hanya kipas angin. Kamar hanya dibatasi kain. Kamar mandi pun terlihat kurang sehat.
Tim dari Seksi Perlindungan Daker Makkah dan beberapa wartawan MCH akhirnya ikut mengantarkan kedua pasangan suami isteri ini untuk mencari tempat penginapan mereka mulai Jumat (19/9) sekitar pukul 23.00 dan akhirnya berhasil ditemukan pada Sabtu sekitar pukul 01.30.
Pemerintah memang meminta masyarakat untuk berangkat haji melalui jalur resmi. Tidak diketahui dari mana mereka memperoleh visa. Namun yang pasti nama mereka tidak tercatat dalam Sistem Komputersisasi Haji Terpadu (Siskohat).
Kerugian menjadi jemaah haji non kloter, antara lain, tidak ada yang menjamin dalam hal akomodasi. Kerugian lain, tidak ada yang melindungi karena tidak punya petugas atau pembimbing yang mendampingi.
Pewarta: Unggul Tri Ratomo
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2014