Nairobi (ANTARA News) - Pemerintah Sudan Selatan telah mengumumkan akan mencabut kebijakan kontroversial untuk mengusir pekerja asing, menurut seorang diplomat Kenya, Rabu (17/9), menyusul protes dari negara-negara tetangga dan sejumlah lembaga bantuan.
Surat kabar The Daily Nation mengatakan, Duta Besar Kenya untuk Juba bertemu Menteri Luar Negeri Sudan Selatan Barnaba Marial Benjamin dan diberitahu bahwa kebijakan kontroversial itu, yang diterbitkan pada Selasa, akan "dicabut".
Duta besar Cleland Leshore mengatakan ia memperoleh informasi bahwa "mereka tidak benar-benar berniat untuk mengusir warga negara asing yang bekerja di sini."
"Apa yang mereka ingin lakukan adalah meminta perusahaan-perusahaan untuk memberikan prioritas kepada rakyat Sudan Selatan. Mereka telah mengatakan mereka akan membetulkan (kebijakan itu) pada Rabu," katanya kepada Daily Nation.
Di ibukota Sudan Selatan, Juba, kementerian luar negeri mengatakan akan mengadakan konferensi pers pada Rabu untuk mengatasi masalah ini, tapi beberapa pejabat pemerintah telah menghindar dari keputusan tersebut.
Pada Selasa, pemerintah memerintahkan "semua organisasi non-pemerintah, perusahaan swasta, bank, perusahaan asuransi, perusahaan telekomunikasi, perusahaan minyak, hotel dan pondok-pondok yang bekerja di Sudan Selatan ... untuk memberitahu semua pekerja asing yang bekerja pada mereka di semua posisi untuk berhenti bekerja" dalam waktu satu bulan.
Disebutkan bahwa seluruh posisi, mulai dari resepsionis hingga direksi perusahaan, harus diisi oleh warga negara Sudan Selatan yang ditunjuk pemerintah.
Kebijakan itu konon dirancang untuk "melindungi hak-hak dan kepentingan rakyat Sudan Selatan". Kebijakan itu muncul setelah perang sipil brutal yang disebut oleh badan-badan bantuan telah mendorong negara termuda di dunia itu ke jurang kelaparan buatan manusia.
Puluhan ribu pekerja terampil dari negara-negara tetangga termasuk Etiopia, Eritrea, Kenya, Sudan dan Uganda berada di negara itu, dan bersama-sama mereka mengoperasikan jaringan telepon seluler, sektor perbankan, kegiatan minyak hulu, hotel dan infrastruktur penting lainnya di Sudan Selatan.
Sudan Selatan sendiri menderita kekurangan pekerja terampil, mengingat hanya sekitar seperempat dari warganya bisa membaca dan menulis, demikian laporan AFP.
(Uu.G003)
Editor: Heppy Ratna Sari
Copyright © ANTARA 2014