KPK mendorong pemberian hukuman berupa pencabutan hak politik koruptor untuk dipilih dalam jabatan publik agar beri efek jera mengingat korupsi adalah kejahatan luar biasa yang menyengsarakan banyak orang,"Jakarta (ANTARA News) - Komisi Pemberantasam Korupsi (KPK) mendorong pencabutan hak politik para koruptor untuk dipilih dalam jabatan publik sebagai hukuman tambahan untuk menimbulkan efek jera, kata Juru Bicara KPK Johan Budi.
"KPK mendorong pemberian hukuman berupa pencabutan hak politik koruptor untuk dipilih dalam jabatan publik agar beri efek jera mengingat korupsi adalah kejahatan luar biasa yang menyengsarakan banyak orang," ujar Johan di Gedung KPK, Jakarta, Selasa.
Pemberian hukuman tambahan yang selama ini hanya diterapkan oleh Mahkamah Agung (MA), lanjut Johan, diharapkan bisa menjadi rujukan hukum (yurisprudensi) hakim-hakim pengadilan di tingkat daerah.
KPK, lanjut Johan, akan menuntut hukuman pencabutan hak politik kepada terdakwa koruptor yang melakukan tindak pidana korupsi skala besar.
"Contohnya terdakwa kasus tindak pidana pencucian uang Anas Urbaningrum yang juga dituntut dengan pencabutan hak politik," tutur dia.
Kasus pencabutan hak politik juga telah dikenakan kepada mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera Luthfi Hasan Ishaaq pada Senin (15/9) oleh Mahkamah Agung yang artinya tidak boleh dipilih dalam jabatan publik.
Selain itu hakim MA juga memperberat hukumannya dari 16 tahun menjadi 18 tahun penjara dalam kasus perkara pemberian suap untuk pengurusan kuota impor daging sapi di Kementerian Pertanian dan tindak pidana pencucian uang.
Senasib dengan Luthfi, Inspektur Jenderal Polisi Djoko Susilo yang merupakan terdakwa dugaan korupsi dan pencucian uang proyek simulator surat izin mengemudi (SIM) juga dicabut hak politiknya pada pengadilan tinggi dan diperkuat di tingkat MA.
Johan mengatakan KPK sangat mengapresiasi keputusan-keputusan MA ini. "Dalam usaha memberantas korupsi kita harus memperjuangkan keadilan publik," kata dia.
(SDP-84/E001)
Pewarta: Michael Teguh Adiputra Siahaan
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2014