Jakarta (ANTARA News) - Jumat siang (5/9), beberapa epigraf membaca dan menyalin aksara kuno yang terukir pada batu-batu dari masa lalu, berusaha mengurai pesan-pesan dari zaman lampau yang tertinggal di prasasti.
Andriyati Rahayu sedang menyelesaikan pekerjaannya, menyalin 21 baris aksara Jawa Kuno yang terukir pada Prasasti Kayu Arahiwang dari Desa Boro Tengah, Purworejo, yang ada di ruang koleksi Museum Nasional Indonesia, Jakarta.
Dia sudah memulai pekerjaan itu dua hari lalu. "Kemarin saya sudah sampai baris ke-18," katanya sambil menghitung baris-baris tulisan Jawa Kuno yang melingkari prasasti batu berangka tahun 823 Saka/901 AD itu.
"Nah...sampai sini nii...," kata Andriyati, lalu duduk bersimpuh, mendekatkan wajahnya ke prasasti untuk mengenali ukiran bentuk-bentuk aksara yang melingkari batu berwarna kecoklatan, kadang sambil meraba guratannya.
Ia lantas mulai menyalin huruf-huruf yang bentuknya terlihat seperti paduan garis tegak, datar dan lengkung itu ke dalam buku bergaris sambil membaca, "mas..ma..ju..ju..."
Prasasti itu bercerita tentang Rakai Wanua Poh Dyah Sala yang telah meresmikan wanua atau desa Kayu Ara Hiwang menjadi sima, wilayah yang dibebaskan dari pajak karena uang pajaknya dialihkan untuk pembangunan tempat ibadah, jembatan, bendungan, atau tempat umum lain.
Andriyanti mengatakan, pada prasasti itu juga tertulis nama-nama pejabat kerajaan yang diundang ke upacara penetapan sima dan pasek atau persembahan yang diberikan kepada mereka.
"Termasuk di antaranya uang emas, yang dalam prasasti ditulis satuannya yaitu ma, dan wdihan, yaitu kain," kata pengajar Departemen Arkeologi Universitas Indonesia itu.
Andriyati adalah satu dari lima epigraf --pembaca prasasti-- yang sedang bekerja menyalin dan membaca 30 prasasti koleksi Museum Nasional Indonesia.
Pipit Meilinda (21) membantu dia menyalin aksara Jawa Kuno pada beberapa prasasti.
Siang itu, Pipit menyalin tulisan pada Prasasti Tri Tpusan dari Candi Petung, Magelang, yang dibuat tahun 842 Masehi dan Prasasti Wayuku dari Dieng, Wonosobo, yang berangka tahun 779 Saka/857 AD.
Pipit, yang baru lulus dari Departemen Arkeologi Universitas Indonesia, memulai pekerjaan dengan mengamati bentuk guratan pada prasasti, melihatnya dari jarak sangat dekat, kadang sambil meraba.
Sesekali dia berjalan mundur satu atau dua langkah, lalu memandang guratan-guratan itu sambil berdiri dengan menelengkan kepala, berusaha memastikan bentuk aksara yang tertulis pada batu tua.
"Yang sudah sulit terbaca seperti ini, kasih tanda strip. Biasanya prasasti sudah ada formula isinya, jadi nanti bisa dilihat kira-kira apa yang biasa ada di bagian ini dan dicocokkan dengan hasil epigraf yang lain," katanya.
Gaya Citralekha
Prasasti-prasasti yang isinya siang itu disalin Andriyati dan Pipit semua beraksara dan bahasa Jawa Kuno.
Meski demikian bagi mata orang awam, tulisan-tulisan pada setiap prasasti itu tampak berbeda satu sama lain, ada yang aksaranya gendut-gendut dan jarang, ada yang kurus-kurus dan miring, ada pula yang deretan hurufnya tegak dan tersusun rapi.
Menurut Andriyati, pada masa lalu prasasti dipahat oleh penulis prasasti yang disebut citralekha dan setiap citralekha biasanya punya gaya menulis sendiri.
"Seperti gaya kita menulis dengan tangan saja, kan beda-beda. Ada yang rapi, ada yang berantakan, bentuknya juga beda-beda," kata Fifia Wardhani, epigraf di Museum Nasional Indonesia yang kemudian nimbrung membantu Andriyanti.
Andriyati menjelaskan bahwa sampai sekarang ada sekitar 3.000 prasasti yang ditemukan di Indonesia.
Menurut dia, prasasti-prasasti itu antara lain ditulis dengan aksara yang mulanya digunakan di India seperti Palawa, Prenagari, dan Dewa Nagari. Ada pula yang menggunakan aksara Sriwijaya, Jawa Kuno, Bali Kuno, Latin, dan Arab.
"Setiap prasasti ada ciri khasnya. Jadi saya bisa kenali itu dari Majapahit, itu Sriwijaya, dari aksaranya, dari bentuknya. Kalau Yupa gini, ada box head, kalau Jawa Kuno lurus, tidak ada box head lagi," kata perempuan yang mulai membaca prasasti tahun 2000, ketika mengerjakan skripsi.
"Bentuknya ada hubungannya dengan huruf ha-na-ca-ra-ka sekarang. Walaupun, saya enggak tahu ya, tapi sepertinya ada missing link antara Majapahit dengan ha-na-ca-ra-ka," kata dia.
Para epigraf bekerja menyalin tulisan yang terukir pada batu prasasti, lalu mengalihaksarakan, mengalihbahasakan, dan kemudian menginterpretasikan isinya.
Mereka kadang bekerja dengan bantuan abklatsch atau cetakan dari suatu prasasti (umumnya prasasti batu) yang dibuat dari kertas singkong, foto, atau perangkat pendukung lain yang lebih canggih untuk menyalin dan membaca prasasti.
Sebagian prasasti sudah pernah disalin, dialihaksarakan, dialihbahasakan dan diinterpretasi oleh ahli epigrafi yang lain sebelumnya.
"Kalau ini sama ahli Belanda sudah dibaca, lebih gampang karena nanti kita tinggal mencocokkan saja hasilnya dengan yang sudah dibikin para ahli Belanda," kata Andriyati tentang prasasti yang sedang dia salin aksaranya.
Namun masih banyak pula prasasti-prasasti yang belum pernah dibaca sama sekali, yang membuat para pembaca prasasti tertantang untuk mengenali aksaranya, dan mengungkap pesan-pesan yang terukir di sana.
Para pembaca prasasti juga tidak setiap waktu mendapat pekerjaan membaca prasasti, apalagi prasasti yang belum pernah dibaca sama sekali.
Andriyati baru berkesempatan membaca 10 prasasti, termasuk 40 baris tulisan kuno pada prasasti Balingawan.
"Jarang-jarang sih bisa baca prasasti. Saya baru dua tahun ini," kata Andriyati, yang mengaku paling tertarik dengan Prasasti Gadjah Mada yang dikeluarkan oleh Mpu Mada karena huruf-hurufnya masih sangat jelas dan bagus.
Kabar dari Masa Lampau
Meski tidak selalu, prasasti biasanya ditulis atas perintah raja. Di Bali, menurut Fifia, prasasti antara lain berisi tentang batas desa, pemberitahuan karma, dan pembagian warisan.
Namun umumnya prasasti berisi perintah raja, silsilah keluarga raja, penetapan batas wilayah, peringatan peristiwa penting, keputusan hukum, atau penetapan suatu daerah sebagai sima.
Prasasti Yupa yang ditemukan di Kutai, Kalimantan Timur, misalnya. Prasasti yang diperkirakan berasal dari abad keempat atau lima Masehi dan disebut sebagai penanda awal masa sejarah di Indonesia itu antara lain berisi silsilah Raja Mulawarman.
Yupa lainnya menyebut tentang sedekah Raja Mulawarman yang berupa 20.000 sapi, segunung minyak kental, lampu dan bunga untuk para Brahmana.
"Apakah itu benar, kita belum tahu. Mungkin itu hanya kiasan saja. Tapi ada yang bilang, kalau itu benar itu, berarti besar sekali kerajaan Kutai kuno itu," kata Andriyati.
Sementara prasasti seperti Kayu Ara Hiwang dan Wayuku isinya tentang penetapan daerah menjadi sima, yang biasanya dilakukan dengan satu upacara.
"Upacaranya, manusuk sima. Nah itu upacara besar, semua pejabat tinggi kerajaan biasanya datang. Mereka yang tanahnya dijadikan sima membuat pasek-pasek yang dipersembahkan kepada para tamu," katanya.
Dalam prasasti tentang penetapan sima, ia melanjutkan, biasanya juga disebutkan nama-nama pejabat yang datang beserta persembahan untuk mereka.
"Kalau Rakai Hino itu putra raja, biasanya ditaruh di bagian atas dan pasek-paseknya beda dengan pejabat bawahnya... Terus ada penyebutan pejabat desa, ada hulu air, ada hulu wewatan yang urus jembatan, ada tuha buru yang memimpin perburuan...," jelasnya.
Isi prasasti, ia menjelaskan, mengungkap kehidupan sosial masyarakat pada masa lalu, dari soal penataan wilayah, pengelolaan lingkungan, sistem pemungutan pajak dan ulah para penarik pajak, hingga masalah hiburan, perjudian dan gangguan para bandit.
"Kita tahu pembagian wilayah masa Jawa Kuno dari situ, jadi kalau di tingkat desa itu namanya wanua, di atasnya lagi watak, baru tingkat kerajaan... Dari situ kita juga tahu nama-nama kerajaan, ibu kotanya," jelas Andriyati.
"Jadi tahu juga kalau dulu ada wilayah tertentu yang tidak memperbolehkan warga ambil ikan pada siang hari, ada yang mengharuskan warga tanam pohon, dan jaga padang alang-alang agar jangan sampai terbakar," katanya.
Selain prasasti-prasasti yang dikeluarkan kerajaan, ada prasasti yang dibuat kalangan luar kerajaan, dan tidak ditulis oleh citralekha raja. Menurut Andriyati, isi prasasti luar kerajaan di antaranya soal nama dewa, nama tokoh, dan nama tempat suci.
"Tapi ada juga yang menuliskan kegalauan. Jadi ada satu prasasti dari Tempuran, Mojokerto. Isinya tentang cowok yang naksir cewek tapi cuma bisa melihat punggungnya saja....," kata Andriyati.
Editor: Fitri Supratiwi
Copyright © ANTARA 2014