Artinya bisa dipilih dengan perwakilan di suatu daerah, dan bisa pilkada langsung di daerah lain. Hal ini sesuai keberagaman Indonesia, sehingga model pemilihan kepala daerah juga tidak seragam

Jakarta (ANTARA News) - Politisi Partai Golkar Ridwan Mukti mengatakan perlu ada kompromi politik antara kelompok yang menghendaki pemilihan kepala daerah dengan sistem perwakilan di DPRD dengan kelompok pro-pemilihan langsung.

Dalam keterangan persnya di Jakarta, Kamis, Ridwan mengatakan, kompromi itu adalah mengembalikan kepada semangat konstitusi UUD 1945 pasal 18 ayat 4 yakni pemilihan asimetris atau tidak seragam antara satu daerah dengan daerah lain.

"Artinya bisa dipilih dengan perwakilan di suatu daerah, dan bisa pilkada langsung di daerah lain. Hal ini sesuai keberagaman Indonesia, sehingga model pemilihan kepala daerah juga tidak seragam. Saya sendiri menawarkan lima model pemilihan. Itu sama-sama demokratis," katanya.

Menurut Ridwan, lima model pemilihan yang ditawarkan adalah sistem pemilihan langsung, pemilihan langsung dipersempit, sistem perwakilan DPRD, sistem perwakilan diperluas, dan melalui forum adat.

"Kelima model ini bisa diterapkan di masing-masing daerah di Indonesia sesuai dengan karakteristik daerahnya," kata Bupati Musi Rawas, Sumatera Selatan (Sumsel) itu.

Pernyataan Ridwan juga berdasarkan disertasinya di Universitas Sriwijaya beberapa tahun lalu tentang Sistem Pemilihan Kepala Daerah Beragam di Indonesia. Termasuk berdasarkan pengalaman di lapangan setidaknya dalam mengikuti dua kali pilkada langsung bupati Musi Rawas dan sekali saat pilgub Sumsel.

Dari pengalaman itu, Ridwan mengungkapkan praktik pilkada yang terjadi sejauh ini membuat dirinya terbilalak. Selain menyuburkan kultur kapitalistik, juga membuat tatanan sosial yang gotong-royong menjadi tergerus.

"Saat ikut pilgub sumsel dua tahun lalu, mata saya terbilalak tingkat pemilih yang transaksional di Sumsel semakin meningkat. Saat kita susun UU No 32 tahun 2004 itu tidak tergambarkan kondisi lautan ternyata bisa manis kalau dibawa gula sebanyak-banyaknya," kata mantan anggota DPR RI tersebut.

Sebenarnya, begitu Ridwan Mukti, praktik pilkada tidak seragam sudah berlangsung selama ini. Misalnya di DKI Jakarta, untuk gubernur dipilih langsung dan walikota dan bupati ditetapkan. Di DI Yogyakarta, gubernur justru ditetapkan sedangkan bupati dan walikota dipilih langsung. Di Papua ada sistem noken, dan berbeda juga di Aceh. Sehingga ruang untuk beragam itu sudah ada.

Dalam diskusi bertajuk "Prokontra Pilkada Langsung" di Jakarta, Rabu 10/9). Tampak hadir dalam sejumlah pembicara, antara lain politisi Partai Golkar Ridwan Mukti dan politsi Partai Hanura Yuddy Crisnandi. Menurut Yuddy Crisnandi, argumentasi yang disampaikan selama ini untuk menolak pemilihan langsung adalah argumentasi emosional.

"Bagaimana mereka merumuskan demokratisasi? Kalau hari ini pilihannya ke DPRD kenapa tidak diserahkan saja kepada presiden untuk memilih? Tentu mereka tidak mau dipilih presiden karena presidennya Jokowi. Jadi ini semua emosional," katanya. (*)

Pewarta: Ruslan Burhani
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2014