Jakarta, 4 September 2014 (ANTARA) - Setelah beberapa saat lamanya, nelayan sulit dalam mendapatkan pasokan Bahan Bakar Minyak (BBM) untuk operasional melaut, kini angin segar pun datang pada nelayan. Harapan nelayan untuk kembali mendapatkan pasokan solar bersubdisi menemukan titik terang. Pasalnya, tak kurang dari sebulan lamanya, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang tengah memperjuangkan nasib nelayan agar mendapatkan jatah solar bersubsidi, berhasil meyakinkan para pemangku kepentingan terkait agar segera membuka kembali kran pembatasan penyaluran BBM bersubsidi bagi nelayan. Hasilnya, alokasi pasokan BBM bersubsidi bagi nelayan di tahun 2014 sebesar 1.800.000 KL. Kesepakatan ini, sebagai bentuk sinergi KKP dengan Kementerian ESDM, Kementerian Dalam Negeri, BPH Migas dan Pertamina. Demikian disampaikan Menteri Kelautan dan Perikanan Sharif C. Sutardjo di Jakarta, Kamis (4/9).
Sebagai informasi, dari hasil koordinasi KKP bersama pemangku kepentingan terkait telah dihasilkan lima kesepakatan penting dalam normalisasi pasokan BBM bersubsidi bagi nelayan. Kelima kesepakatan tersebut yakni, sampai akhir tahun ini, alokasi BBM bersubsidi/JBT Jenis Minyak Solar untuk nelayan mencapai 702.540 KL. Adapun rincian saluran dari PT. Pertamina sebesar 670.000 KL, PT. AKR sebesar 31.379 KL dan PT. SPN sebesar 1.160 KL. Kedua, untuk pengaturan dalam pendistribusian minyak solar bersubsidi akan dilakukan oleh pihak KKP bersama Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dan PT. Pertamina. Selain itu, untuk menjamin ketersediaan dan kelancaran pendistribusian Jenis Bahan Bakar Tertentu (JBT) bersubsidi, KKP akan menyampaikan pembagian alokasi per wilayah Kabupaten/Kota yang memiliki SPDN/SPBN/SPBB per 2 (dua) bulan dilengkapi dengan rencana volume pendistribusian BBM bersubsidi/JBT di masing-masing wilayah tersebut. “Dalam pembagian alokasi BBM bersubsidi per wilayah, KKP masih menunggu rincian kuota/alokasi dan rencana volume pendistribusian BBM bersubsidi/JBT dari masing-masing Daerah,” jelas Sharif.
Lalu kesepakatan keempat, yakni pendistribusian JBT kepada nelayan di suatu wilayah harus melalui penyalur SPDN/SPBN/SPBB yang ada di wilayah tersebut dan bila tidak terdapat penyalur tersebut maka dapat diambil di SPBU/APMS yang ditunjuk oleh Bupati/Walikota dan/atau Terminal BBM PT. Pertamina (Persero). Dan terakhir, KKP bersama-sama Kementerian ESDM, Kementerian Dalam Negeri, BPH Migas dan Pertamina akan menyiapkan rencana kebutuhan BBM bersubsidi/JBT khusus untuk nelayan Tahun 2015 per Kabupaten/Kota dengan nomenklatur khusus BBM bersubsidi untuk nelayan.
Sejalan dengan itu, untuk tahun 2014, KKP telah mengusulkan kuota BBM bersubsidi untuk sektor kelautan dan perikanan sebesar 2.795.147 KL. Adapun rinciannya yakni alokasi BBM untuk perikanan tangkap sebesar 1.195.147 KL dan perikanan budidaya sebesar 600.000 KL. Sementara, jika berkaca pada data tahun 2013, penyerapan BBM di tingkat nelayan hanya mencapai 1.698.424 Juta Kl. Untuk itu KKP meminta PT Pertamina selaku penyalur BBM bersubsidi agar menyampaikan data tentang penyerapan BBM para nelayan pada setiap titik distribusi BBM.
Seperti diketahui sebelumnya, dengan terbitnya UU No. 12 Tahun 2014 tentang APBN-P 2014, volume kuota BBM bersubsidi dikurangi dari 48 juta KL menjadi 46 juta KL. BPH Migas telah mengeluarkan surat edaran tentang pengendalian Solar dan Premium agar kuota sebesar 46 juta KL bisa cukup sampai dengan akhir tahun 2014. Disamping itu, melalui surat edaran BPH Migas No. 937/07/Ka BPH/2014 yang ditujukan kepada badan usaha penyalur BBM PSO yakni, PT. AKR, PT. SPN dan PT Pertamina (Persero) memuat perihal pengendalian konsumsi BBM tertentu tahun 2014. Adapun rincian yakni, BBM jenis minyak solar (Gas Oil) mulai 4 Agustus 2014 dilayani jam 08.00 – 18.00, BBM jenis minyak solar (Gas Oil) dikurangi 20 persen di lembaga penyaluran nelayan (SPBB/SPBN/SPDN/APMS) serta dalam penyaluran BBM mengutamakan kapal < 30 GT. Selanjutnya surat edaran BPH Migas menjelaskan bahwa pembatasan waktu penjualan Solar bersubsidi dilaksanakan untuk wilayah Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Bali akan dibatasi dimulai pukul 08.00 sampai dengan pukul 18.00 untuk cluster tertentu. Penentuan cluster tersebut difokuskan untuk kawasan industri, pertambangan, perkebunan dan wilayah-wilayah yang dekat dengan pelabuhan di mana rawan penyalahgunaan solar bersubsidi. Sementara itu, untuk lembaga penyalur yang terletak di jalur utama distribusi logistik, tidak dilakukan pembatasan waktu penjualan solar.
Hasilnya, akibat dari pengendalian penyaluran BBM bersubsidi ini, harga komoditas pun mengalami lonjakan, hal ini lantaran pasokannya menurun karena berkurangnya hari melaut para nelayan. kondisi kelangkaan tersebut telah berdampak langsung kepada terjadinya pengurangan produksi, kenaikan biaya produksi dan kenaikan biaya distribusi. Sebabnya, BBM merupakan komponen terbesar dalam operasional nelayan, yakni sekitar 60 persen. Pada saat yang sulit tersebut, para pelaku usaha, khususnya pelaku usaha perikanan tangkap memerlukan bantuan dari berbagai pihak khususnya penyediaan BBM yang bersubsidi. Tercatat, saat ini nelayan Indonesia hanya memiliki 560.000 unit kapal, di mana 3000 kapal bertonase 30-100 Gross Ton (GT) dan sisanya merupakan nelayan kecil yang menggunakan kapal di bawah 30 GT. Padahal jika merujuk, data PT. Pertamina penyerapan BBM di tingkat nelayan per 31 Juli 2014 hanya sebesar 1.073.667 KL. Sementara untuk periode Agustus hingga akhir tahun 2014, kebutuhan nelayan akan BBM bersubsidi mencapai 702.540 KL.
Untuk keterangan lebih lanjut, silakan menghubungi Lilly Aprilya Pregiwati, Kepala Pusat Data Statistik dan Informasi, Kementerian Kelautan dan Perikanan (Telp. 021-3520350)
Editor: PR Wire
Copyright © ANTARA 2014