Jakarta (ANTARA News) - Selama 129 hari, seorang diri Eko Primabudi menyusuri Jalur Sutra, bertualang menjelajahi jejak-jejak perdagangan penting yang menghubungkan Tiongkok dengan Eropa.
Perjalanan itu membuka lebar-lebar pandangannya terhadap dunia, membuatnya semakin menikmati perbedaan.
Sepanjang perjalanan, pria berusia 31 tahun itu tidak hanya menghadapi tempaan perubahan cuaca yang kadang ekstrem, tetapi juga perubahan budaya yang begitu kontras.
Tak jarang hatinya ketar-ketir saat melewati daerah konflik seperti Provinsi Xinjiang, perbatasan Tiongkok-Turki, perbatasan Turki-Iran, Kirgizstan, dan Uzbekistan.
Namun sering pula sajian alam dan budaya membuat dia bahkan tak bisa menggambarkan keindahannya dengan kata-kata, seperti ketika dia menyaksikan keindahan hamparan gunung dan padang rumput di Kirgizstan serta kemewahan arsitektur kota-kota Uzbekistan dan Iran.
Semakin jauh ia tenggelam dalam sisa-sisa sejarah Jalur Sutra, semakin ia memahami keragaman.
"Hal yang paling saya rasakan bisa menerima perbedaan apalagi di Jalur Sutra ini kontras sekali perbedaannya. Misal, di suatu negara semua perempuan mengenakan jilbab, tetapi menyebrang sedikit saja dengan jarak hanya tiga jam adzan saja tidak boleh. Ini membuat saya sadar bahwa keragaman di dunia itu tanpa batas," kata Eko kepada Antara.
"Saya juga merasa jadi lebih toleran serta tidak resisten terhadap sesuatu yang baru, budaya baru. Termasuk soal agama, pandangan saya jadi lebih luas. Dan itu penting, apalagi di dunia yang sekarang penuh dengan konflik," tambahnya.
Dari tempat-tempat yang ia susuri, separuh di antaranya merupakan wilayah berkonflik. Namun pengalamannya saat di Urfah, sebuah kota di Turki timur membuka matanya.
Kota Urfah hanya berjarak 60 kilometer dari Suriah dan terpaut jarak 130 kilometer dengan Irak. Meskipun terletak di antara wilayah yang berkonflik, Urfah sangat aman.
Di kota yang konon merupakan tempat lahir Nabi Ibrahim itu, Eko bebas berjalan seorang diri saat tengah malam tanpa takut ada yang mengganggu.
"Dengan melihat lebih dekat, banyak hal tidak terduga yang kita temukan," tutur Eko.
"Konflik yang kita kenal itu ternyata tidak seperti yang kita bayangkan. Konflik, misalnya hanya meletus sekali-sekali, kecuali dalam keadaan perang. Jadi saya percaya insting, begitu datang ke suatu tempat harus siap, berpikir positif itu bisa dimasuki," jelasnya.
Perjalanan juga mengingatkannya pada hal-hal yang kerap terlupakan dalam kehidupan sehari-hari.
"Dari perjalanan ini saya banyak diingatkan. Saya jadi lebih peka terhadap hal-hal yang kadang-kadang kita lupakan dalam kehidupan sehari-hari. Dari perjalanan kita melihat kehidupan orang yang berbeda-beda, di situ lah kita ambil wisdom-wisdom kecilnya," ungkap Eko.
Berawal dari catatan
Perjalanan Eko dimulai setelah ia menyelesaikan studi master Energi di Technische Universitat Berlin. Selama tiga tahun kuliah, ia tidak pernah pulang ke rumahnya di Jambi. Ketika hendak melakukan perjalanan pulang, ia ingin melakukannya dengan cara yang tidak biasa.
Jalur Sutra belum pernah terbesit dalam pikirannya sampai ia membaca tulisan tentang petualangan Jalur Sutra dalam buku catatan saat ia mengikuti sebuah pelatihan manajemen.
"Ada satu tulisan petualangan jalur sutra, ada tulisan di notes itu, dimulai dari situ saya bertekad melakukan perjalanan Jalur Sutra," jelas Eko, yang sejak saat itu juga mulai melakukan riset, membeli peta, hingga buku sejarah tentang Jalur Sutra.
"Kebetulan saya suka sejarah, jadi perjalanan jalur sutra ini rasanya pas," tambah pria yang lahir di Jambi pada 18 Oktober 1983 itu.
Petualangan menjelajahi sebelas negara ia mulai pada 11 Maret 2014. Ia mengawali dari Jerman, Italia, Turki, Iran, Turkmenistan, Uzbekistan, Kirgizstan. Lalu melanjutkannya ke Tiongkok, Laos, Thailand, Malaysia, Singapura, dan akhirnya Jambi. Seluruhnya menghabiskan dana sekitar 2.300 euro dari tabungannya selama bekerja.
Bagi Eko, ini adalah perjalanan penuh misi. Itu lah yang membuatnya bertahan kala dirasuki rasa jenuh selama perjalanan.
"Rasa jenuh sering datang, namun saya selalu kembali termotivasi saat mengingat bahwa perjalanan ini ada misinya. Dalam perjalanan pasti ada lelahnya, tetapi masa tidak diselesaikan. Apalagi saya sudah membuang banyak waktu," kata lulusan Teknik Lingkungan Universitas Diponegoro itu.
Seperti game
Eko mengibaratkan petualangan seperti game. Setelah berhasil melewati satu level, ia pun tertantang untuk mencoba level berikutnya.
"Manusia itu dasarnya suka tantangan. Dalam perjalanan, kita seperti ditantang dan begitu kita berhasil melewatinya, kita mau naik level. Seperti main game," kata Eko.
"Saya sudah lihat Indonesia, Eropa, lalu ada semacam tantangan pada diri sendiri berani atau tidak saya lewat sini, yang banyak wilayah konflik. Setelah saya bisa, habis itu mau coba lagi ke level berikutnya, misal ke Afghanistan," jelas Eko, yang memilih berkarier di Jerman.
Pada akhirnya, rumah selalu menjadi tempat dia kembali. Baginya, tetap tidak ada tempat yang lebih nyaman dari rumah sendiri, tempat ia berkumpul bersama keluarga untuk merayakan Lebaran.
Tapi perjalanan Eko belum berakhir. Ia tidak akan berhenti di Jalur Sutra.
Oleh Monalisa
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2014